Oleh
Yosafati Gulo
Banyak
ahli hukum menilai bahwa UU Yayasan masih mengandung banyak kekurangan.
Perdebatan mutakhir mencuat setelah PP No 2 Tahun 2013 tentang Perubahan PP No
63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU tentang Yayasan terbit. PP tersebut
mengundang kontroversi karena bertabrakan langsung dengan ketentuan Pasal 71 UU
No. No 16 Tahun 2001 jo Pasal 71 UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU
No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Pasal
71 ayat (1) huruf b jo ayat (4) menetapkan tanggal 6 Oktober 2008 sebagai batas
akhir bagi Yayasan untuk menyesuaikan AD-nya dengan UU Yayasan, tetapi PP No. 2
Tahun 2013 menabrak batasan waktu itu dengan memberikan kesempatan lanjutan
tanpa membatalkan bunyi pasal 71 ayat (1) jo ayat (4) UU tersebut[1].
Peluang Usaha
Terlepas
dari tabrakan itu, banyak sisi positip dari UU Yayasan yang perlu segera
direspon. Di antaranya ialah terbukanya peluang bagi Yayasan untuk mendirikan badan
usaha komersial dan/atau ikut serta dalam suatu badan prospektif untuk menunjang
pencapaian maksud dan tujuannya di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan.
Cakupan
bidang usaha yang dapat dimasuki Yayasan cukup luas. Menurut penjelasan Pasal 8
UU No 16 Tahun 2001, termasuk di antaranya usaha-usaha di bidang hak asasi
manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan
hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.
Yayasan
yang bergerak di bidang pendidikan umpamanya. Bisa saja mendirikan badan usaha berupa
UD, CV, atau Perseroan Terbatas. Kegiatannya bisa dagang atau mendirikan pabrik
yang memproduksi alat-alat pelajaran, olah raga, kesenian, atau alat-alat
kesehatan, atau usaha pembibitan tanaman yang menunjang pencapaian tujuan
Yayasan.
Usaha
tersebut tentu saja tidak dikelola langsung oleh Yayasan. Dilarang oleh
Undang-Undang. Sebab, bertentangan dengan fungsinya sebagai badan hukum yang bertujuan
sosial, kemanusiaan dan keagamaan. Yang dibolehkan ialah bahwa badan usaha tersebut
harus dikelola secara profesional oleh tenaga-tenaga profesional dengan
manajemennya sendiri sebagaimana halnya badan usaha komersial pada umumnya.
Pemanfaatan Keuntungan Usaha
Ada
beberapa ketentuan yang harus dipedomani dalam mendirikan badan usaha tersebut.
Pasal 3, 7, 8, dan Pasal 26 UU No. 16 Tahun 2001 jo Pasal 3 dan Pasal 5 UU No.
28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Yang
diatur dalam pasal-pasal itu antara lain, pertama,
tentang modal. Untuk mendirikan badan usaha komersial, Yayasan dapat
menggunakan paling banyak 25% dari seluruh nilai kekayaan Yayasan sebagai
modal. Yayasan yang memiliki nilai kekayaan sebesar 100 Miliar (M) umpamanya, paling
banyak 25 M di antaranya dapat dipakai sebagai modal. Kalau tidak berminat
mendirikan badan usaha, persentase dana tersebut dapat dipakai sebagai
penyertaan modal dalam berbagai bentuk usaha prospektif milik orang lain. Misalnya
deposito bank dan penyertaan saham pada perusahaan. Pendek kata, makin besar
nilai kekayaan sebuah Yayasan, nilai yang dapat dijadikan modal usaha makin
besar pula.
Kedua, tentang peruntukan keuntungan
usaha. Sebagai penunjang pencapaian maksud dan tujuan Yayasan, maka seluruh keuntungan
dari usaha komesial tidak boleh dipakai secara suka-suka oleh organ-organ
Yayasan (Pendiri/Pembina, Pengurus, dan Pengawas). Hanya boleh dipakai untuk dua
hal. Yaitu, untuk kelangsungan dan pengembangan usaha komersial itu sendiri, serta
untuk peningkatan dan pengembangan pelayanan Yayasan kepada masyarakat sesuai
dengan maksud dan tujuan utama Yayasan.
Bagi Yayasan
yang bergerak di bidang Pendidikan formal umpamanya, 60% keuntungan dipakai
sebagai biaya operasional dan pengembangan usaha. Sisanya, harus diarahkan
untuk kepentingan pendidikan yang dikelola Yayasan. Entah itu untuk membangun ruangan
belajar dengan segala fasilitasnya, membayar gaji guru, dosen dan pegawai,
bahkan, kalau bisa, sampai menggratiskan biaya pendidikan bagi para (maha) siswa.
Dengan
cara itu, Yayasan tak perlu pusing-pusing mencari dana dengan menarik SPP, uang
kuliah, uang sumbangan, atau pungutan apa pun yang selama ini terus menghantui
orang tua (maha) siswa. Apabila usaha komersial yang didirikannya berkembang,
malahan ia bisa mengadakan dana abadi bagi kelangsungan pelayanannya di bidang
pendidikan.
Larangan
Perlu
disadari, bahwa sekalipun badan usaha komersial itu didirikan oleh Yayasan,
tidak berarti organ-organ Yayasan bisa bertindak sesukanya. Ada beberapa
larangan yang harus ditaati. Pertama,
organ-organ Yayasan tidak diperkenankan merangkap sebagai Anggota Direksi,
Pengurus, Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dalam badan usaha yang
didirikannya (Pasal 7 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2001).
Larangan
itu masuk akal. Merupakan upaya UU untuk mengkondisikan organ-organ Yayasan agar
tetap fokus pada tugasnya mengelola Yayasan. Juga mencegah terjadinya salah
urus atas Yayasan dan badan usaha komersial miliknya. Sebab bila hal itu
terjadi, kerugian pada badan usaha, yang pada gilirannya mengganggu kegiatan
utama Yayasan sulit dicegah.
Kedua,
keuntungan usaha serta kekayaan Yayasan dari sumber mana pun dilarang
dibagi-bagi kepada organ-organ Yayasan. Baik langsung maupun tidak langsung. Hal
ini sudah ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 5 UU No. 16 jo Pasal 5
ayat (1) UU No 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan. Pengecualian atas ketentuan tersebut hanya terbatas pada ketentuan
pasal 5 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2004, yaitu apabila Pengurus Yayasan melaksanakan
kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh waktu.[2]
Itu
pun harus ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus Yayasan
menerima gaji, upah, atau honorarium. Jadi, boleh tidaknya Pengurus Yayasan
menerima gaji, upah atau honorarium tergantung pada ketentuan Anggaran Dasar
Yayasan bersangkutan.
Dari
situ nampak bahwa meskipun kekayaan Yayasan makin besar, organ-organ Yayasan tidak
memikili hak apa pun menggunakan kekayaan Yayasan. Secara tegas mereka dilarang
mencari-cari alasan untuk menggunakan
kekayaan Yayasan untuk kepentingan pribadi.
Dalam
kondisi ideal, semua organ Yayasan seharusnya tidak menerima atau tidak
mengharapkan ketuntungan material dari Yayasan. Sebagai lembaga sosial
seharusnya begitu. Itulah sebabnya tidak semua orang dapat mendirikan Yayasan.
Hanya mereka yang sudah berkecukupan secara ekonomi yang layak mendirikan
Yayasan.
BillGate[3]
dan orang-orang kaya di dunia telah memraktekkan pendirian Yayasan yang murni
untuk tujuan sosial. Dari laba usahanya, mereka selalu menyisihkan sekian
persen untuk disumbangkan pada kegiatan sosial. Alih-alih diberi atau
mengharapkan keuntungan material, mereka justru membayar para profesional untuk
menjalankan kegiatan Yayasannya.
Yayasan-Yayasan
di Indonesia, nampaknya belum ada yang seideal Yayasan Bill Gate. Kebanyakan
Yayasan malahan mengharapkan adanya keuntungan dari usaha, yang selain dipakai
untuk mendanai kegiatan Yayasan, juga dipakai untuk keperluan gaji, upah, atau
honorarium Pendiri dan Pengurusnya. Inilah yang coba dibatasi oleh UU Yayasan.
Sebagai
gantinya, UU memberikan peluang berusaha agar Yayasan mendapatkan dana bagi
kelangsungan kegiatannya tanpa harus tergantung seterusnya pada sumbangan
pendiri. Pertanyaannya ialah apakah Yayasan-yayasan Pendidikan di Tanah Air
telah melihat peluang yang ditawarkan UU Yayasan? Berapa persenkah dari sekian
banyak Yayasan yang ada telah mendirikan badan usaha untuk menunjang pencapaian
maksud dan tujuan Yayasan?
Nampaknya,
belum banyak. Boleh jadi karena para Pembina, Pengurus dan Pengawasnya belum
mendalami UU Yayasan secara sungguh. Boleh jadi juga karena adanya kendala
modal. Namun, kalau sebuah Yayasan mau terus eksis ke depan, ada keharusan
baginya untuk menyeriusi tawaran UU Yayasan tersebut.
Janggal
nampaknya kalau sebuah Yayasan terus menggantungkan diri pada iuran (maha)
siswa dalam berbagai bentuk dan nama pungutan untuk melangusngkan hidupnya. Sudah
seharusnya Yayasan mencari dana sendiri untuk mewujudkan tujuan sosialnya
dengan dengan cara yang diwadahi oleh UU. Mau? ***
[1][1] Pasal 71 ayat (1) menyatakan, “Pada saat
Undang-Undang ini berlaku, yayasan yang : a. Telah didaftarkan di Pengadilan
Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau b.
Telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izinmelakukan kegiatan
dari instansi terkait tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan
ketentuan Undang-Undang ini. Ayat (4): Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran
Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)... tidak dapat
menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan
putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksanaan atau pihak yang berkepentingan.”
[2] Itilah
penuh waktu dalam Pasal 5 ayat (2) UU No 28 Tahun 2004 adalah apabila Pengurus
melaksanakan kepengurusan Yayasan sesuai dengan ketentuan jam hari dan kerja
Yayasan, bukan Pekerja paruh waktu (part time).
[3] Menurut Wikipedia, Yayasan Bill & Melinda Gates Foundation (B&MGF atau Gates
Foundation adalah yayasan swasta yang beroperasi secara transparan
terbesar di dunia, didirikan oleh Bill dan Melinda Gates. Pendiriannya berawal
dari ketertarikan dan gairah keluarga Gates untuk memperbaiki sistem kesehatan
dan mengurangi kemiskinan ekstrem di seluruh dunia, dan memperluas kesempatan
pendidikan serta akses ke teknologi informasi di Amerika Serikat. Pada tahun
2009, Yayasan tersebut telah menyalurkan bantuan senilai US$33,5 miliar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar