Kamis, 25 Maret 2010

BERGURU PADA AIR (2)

Oleh Yosafati Gulo

Coba bayangkan betapa hebatnya kehidupan jika masing-masing manusia mau memakai tekad yang diajarkan air. Dalam bekerja, berusaha, belajar mustahil muncul istilah mengeluh. Tidak ada istilah menyerah apalagi menyalahkan pihak lain atau mencari kambing hitam. Ketika berhadapan dengan masalah, bahkan hambatan, yang dilakukan ialah terus berusaha mencari celah-celah “bumi” untuk mencapai “lautan” target seperti yang dilakukan air.

Diyakini bahwa sebesar dan sekeras apa pun masalah, hambatan, pasti ada sisi solusi. Inilah yang dilakukan air ketika ia dibendung di bendungan atau batu-batu besar menghambat alirannya di atas atau di bawah permukaan bumi. Secara perlahan ia terus, tanpa henti, menyusuri pori-pori bumi dan batu untuk mendapatkan tempat yang lebih rendah. Laut.

Itulah yang dilakukan nenek moyang manusia pada zaman dulu sebelum ada korek api. Mereka menggosokkan batu dengan batu sampai mendapatkan api untuk keperluan memasak. Itu pula yang dilakukan Hermawan Kartajaya ketika keluar dari PT Sampoerna dan memulai usaha Mark Plus Profesionalnya di Surabaya.

Saat mulai membangun usahanya ada sejumlah masalah menghadang. Ia tidak serta merta diterima dan diakui oleh dunia bisnis. Ia terhambat oleh bayang-bayang orang-orang tenar di bidang marketing sebelumnya. Menembus bayang-bayang itu, Hermawan tidak menyerang “lawan”, atau mengeluh atau mencari kambing hitam. Ia merasa perlu membangun sendiri image perusahaannya. Meyakinkan publik bahwa gagasannya jauh dahsyat.

Alternatif yang dia pilih adalah menulis di harian jawa pos --karena pada saat itu harian Kompas yang dianggap lebih berpengaruh sering ogah memberi tempat tulisannya—untuk memperkenalkan gagasan-gagasan marketing brilian itu. Selain itu, ia terus membangun jaringan lewat teman-temannya di Rotary Club dan berbagai organisasi yang dimasukinya dengan menawarkan diri menjadi pembicara gratis alias tidak usah dibayar pada seminar-seminar.

Dengan terus menulis dan menjadi pembicara gratis, Hermawan Kartajaya ternyata sukses. Gagasannya lewat Mark Plus Profesional bukan cuma dikenal. Malahan menjadi kiblat dunia bisnis dewasa ini. Ilmu air yang digunakannya, entah disadari atau tidak, membuatnya mampu menembus “batu-batu” besar, para penulis kenamaan, pembicara tenar, yang sebelumnya menghambat diri dan gagasannya untuk dikenal.

Airkah yang Kotor dan Berbau?

Mau belajar dari air sungai atau air sumur galian dari bawah tanah? Boleh juga. Tinggal pilih jenis sungai yang ada. Mau sungai dari celah gunung, karang, pebukitan yang jernih, atau air sungai yang tampak kotor dan berbau karena telah membersihkan kotoran-kotoran manusia, limbah pabrik, semuanya pasti baik.

Hal utama yang dilakukan air adalah terus bergerak dan mengalir. Ia terus mencari tempat yang lebih rendah. Tapi, itu, tidak untuk dirinya sendiri. Bersamaan dengan pencarian yang tak henti, ia membawa sertanya pasir atau partikel-pertikel tanah. Karena itu ia sering tampak keruh, kotor. Tapi, semua bawaannya ini, ternyata perlu bagi manusia. Entah untuk memangun rumah, kantor, hotel, jembatan, atau bertani di area yang disuburkan di sekitar muara.

Sebagian lainnya tidak membawa apa-apa. Yang ini tampak jernih. Sebelum mencapai tujuan akhir, air ini mampir di rumah-rumah, hotel, restaurant, pabrik, atau beraneka kandang milik manusia. Yang lain, malahan mampir diperut manusia atau hewan atau batang rumput dan pohon. Dalam proses persinggahan, semua air ini menghasilkan efek yang sangat diperlukan. Ia memberi efek kebersihan dan memperpanjang kehidupan. Setelah itu, ia kemudian dibuang atau keluar sendiri lewat proses penguapan. Wujudnya kini ada yang keruh, kotor, dan bau.

Tapi apakah air memang keruh, kotor, dan bau? Nyanya tidak. Yang keruh, kotor, dan bau, adalah limbah manusia atau hewan. Air tetap mempertahankan identitasnya. Ia pasti memisahkan dirinya dengan kotoran sampai kembali ke wujudnya yang asli: bersih, bening, dan tak berbau. Memang tidak selalu cepat menurut ukuran manusia. Sebab, prosesnya butuh waktu. Sebagian dengan masuk kembali ke pori-pori tanah dan sebagian lagi dengan proses penguapan atas bantuan panas sinar matahari.

Target Diri dalam Rangka Bersama

Peristiwa itu mengajarkan kepada manusia banyak hal. Dalam mengejar target-target hidup secara individu, entah posisi, kuasa, kekayaan, atau pengaruh, manusia tak perlu egois alias hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Bersamaan dengan pencarian dan pencapaian target individual, si manusia perlu memberi makna, nilai, bagi kelangsungan hidup yang lain. Baik sesama manusia maupun makhluk lain.

Makin tinggi kedudukan, pengaruh dalam masyarakat, efeknya dalam upaya memperbaiki kehidupan yang lain makin nesar. Makin besar kekayaan seseorang dari dunia usaha, maka jumlah jumlah manusia yang diberdayakan makin banyak juga. Itu artinya target individualnya tercapai dan kebahagiaan, kesejahteraan sesamanya juga meningkat. Barangkali, inilah salah satu makna pepatah, “Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui”.

Dengan cara ini banyak manfaat yang dapat dipetik. Pertama, persahabatan antar manusia makin terjalin erat. Manusia tidak lagi terkotak-kotak atas dasar primordialisme. Kedua, makna kehadiran di bumi tidak hanya dirasakan oleh keluarga dan orang-orang terdekat. Tapi semua orang, tanpa batas. Itu artinya kehadiran kita sebagai manusia makin terasa. Tidak sekadar ada seperti angin lalu bagi yang lain. Tetapi sesuatu yang turut menunjang kehidupan bersama. Ketiga, dorongan untuk saling melindungi, saling memberi rasa aman, muncul secara otomatis. Si miskin tidak bakalan iri kepada si kaya atau si tersisih kepada si penguasa. Mereka jadi sadar bahwa kekayaan dan kuasa siapa pun berguna bagi mereka juga.

Nampaknya, inilah yang mendasari kata-kata bijak: “Barang siapa memberi akan mendapatkan. Barang siapa tidak memberi akan kehilangan.” Mengapa demikian? Karena makin memberi perhatian, perlindungan, pertolongan kepada yang lain, mereka juga terbeban untuk menjaga, mendukung, melindungi kedudukan, jabatan, pengaruh, harta, dan apa pun kepunyaan Anda. Sebaliknya, bila hanya menonjolkan egoisme, kepentingan sendiri, maka semua orang di sekitar merasa tidak nyaman dengan kehadiran Anda. Maka, baik halus maupun terang-terangan, mereka cenderung menggerogoti apa yang Anda punya. Nah, Kehilangan kan?

Kata-kata bijak lain berkata: “Barang siapa sayang pada nyawanya, akan kehilangan nyawa. Barang siapa merelakan nyawanya bagi orang banyak, akan melindungi nyawanya sendiri.” Maknanya, mirip dengan kata-kata bijak sebelumnya. Jika terus berjuang untuk mempertahakan posisi, jabatan, kuasa, kekayaan tapi sekaligus menyejahterakan orang-orang disekitar, desa, kota, bahkan negara tempat Anda hidup serta alam sekitar, maka semua berjuang mati-matian untuk mendukung perjuangan Anda. Nah, memperpanjang “nyawa” kan?

Pertanyaannya, apa yang Anda pilih? Sepenuhnya terserah Anda saja. ***

Minggu, 21 Maret 2010

BERGURU PADA AIR (1)

Oleh Yosafati Gulo

Air adalah salah satu anugrah Sang Pencipta dalam kehidupan manusia dan alam. Dalam wikipedia disebutkan 71% dari bumi diisi air. Terbanyak ada di laut. Lainnya, di danau, rawa, sungai, dan di bawa permukaan bumi. Wujudnya ada tiga. Bentuk cair, es, dan uap. Es dan uap berasal dari air juga. Yang satu adalah air yang mengeras dan lainnya adalah gas. Keduanya berubah karena faktor udara. Pada titik tertentu, baik es maupun gas selalu kembali pada wujudnya semula, cair.

Salah satu sifat mutlak dari air adalah mengalir. Terkadang berbelok-belok dan terkadang lurus. Tapi tujuannya jelas. Ia pasti menuju ke tempat yang lebih rendah, laut, untuk bergabung - menyatu ke sesama air. Mustahil ada air yang mengalir ke atas, ke arah bukit atau gunung. Memang ada juga air yang mampir di danau. Ada dari sungai atau hujan. Tapi itu hanya sementara. Bukan tujuan akhir. Manakala danau penuh atau meluap karena banjir, air akan meninggalkan danau menuju laut. Dalam kondisi normal pun, ia terus bergerak. Terus berusaha menelusur celah-celah bumi untuk mencapai laut.

Di laut, semua air dari berbagai latar belakang bertemu. Ada air hujan, air jernih dari sumber pebukitan atau celah-celah batu, air sungai keruh penuh lumpur yang dibawa banjir, air kotor dan bau dari limbah industri, dan lainnya. Semuanya bercampur baur. Menyatu. Tidak ada yang protes. Tidak ada yang memisahkan diri dan membentuk kelompok sendiri. Tidak ada yang mengangggap diri paling air di antara air. Atau paling berkuasa di antara para air. Semua saling menerima dan memosisikan diri sama. Mereka tinggal bersama di tempat yang sama dengan penuh kedamaian, kerukunan, dan keharmonisan.

Dalam keberagaman, mereka menemukan jati diri dan hakekatnya sebagai air. Yang satu tampak jernih, bening, karena ia murni keluar dari perut bumi dan belum tercemari. Karena itu ia baik untuk diminum oleh manusia. Yang lain tampak kotor dan berbau karena ia datang bersama limbah pabrik atau lumpur. Sebenarnya, ia tidak beda dengan air jernih. Aslinya, ia tidak kotor dan berbau. Cuma, sebelum sampai di laut, ia sempat mampir di pabrik untuk membantu produksi keperluan manusia atau di rumah-rumah manusia untuk membersihkan pakaian kotor dan keringat diri setelah lelah bekerja. Semua penampilan fisik itu, tidak dipersoalkan. Warna-warni latar belakang dan atribut-atribut alami dipahami sebagai sebuah keindahan dan keajaiban karya tangan Sang Pencipta.

Manusia Semestinya Malu

Sebagai makhluk yang berakal, semestinya manusia malu terhadap air. Manusia berakal, tapi tindakan, pikiran, peruatan, dan kecenderungan hatinya sering melawan akalnya. Bukannya mencari dan rindu menyatu dengan sesamanya. Tapi, justru sibuk memisahkan diri, menjauh atau mencutkan diri ke atas untuk hanya memenuhi hasrat-hasrat individualnya.

Jika sudah berposisi tinggi, kaya, berpengaruh, manusia seolah lupa pada hakekatnya sebagai manusia. Bukannya tinggal dan berusaha menyatu dengan sesamanya lalu memikirkan cara-cara mengangkat harkat hidup sesama manusia. Yang dilakukan justru sebaliknya. Mencari untungan sebanyak-banyak dan sebesar-besarnya dari manusia lain untuk makin mengokohkan posisi, kuasa, dan pengaruhnya demi kepentingan dirinya, keluarganya, kelompoknya, dan orang-orang yang sepaham dengannya.

Dalam posisi itu sebetulnya, si manusia bisa melakukan banyak hal bermakna bagi kehidupan. Ia bisa membantu meningkatkan kualitas hidup sesamanya melalui berbagai cara. Memaknai kekayaan, kuasa, pengaruh yang dimilikinya sebagai alat untuk membangun kehidupan bersama. Terutama bersama mereka yang masih berkerumun di lautan manusia yang kehidupannya belum layak.

Bisa saja dengan menciptakan lapangan kerja bagi yang menganggur. Bisa juga memberi modal usaha secara cuma-cuma. Membiayai sekolah anak-anak miskin. Membuka kursus-kursus ketrampilan yang dapat dimasuki oleh orang-orang miskin tanpa harus menarik biaya. Targetnya, tak usah muluk-muluk. Yang penting, sebagian dari keuntungan usaha dan kekayaan dianggarkan secara bersinambungan untuk membantu sesama. Coba bayangkan betapa mudahnya membangun bangsa ini, kalau 1000 saja orang kaya masing-masing memodali 5 orang tiap tahun atau menyekolahkan 10 orang tiap tahun.

Modalnya juga bisa macam-macam. Mulai dari memodalinya dengan sebuah ketrampilan, disusul dengan modal usaha sesuai kemampuan dan ketrampilannya, dan seterusnya. Demikian pula soal sekolah. Bagi yang berpotensi dapat disekolahkan sampai sarjana bahkan doktoral. Kalau kemampuannya pas-pasan, ya, sampai sekolah menengah atau sesuai kemampuannya. Bagi yang berpotensi, sangat dimungkinkan bahwa sebelum menyelesaikan doktoralnya ia bisa mencari biaya sendiri bahkan bisa membantu yang lain secara estafet.

Klaim-Kalim Manusiawi

Aneh bin tidak masuk akal. Manusia berakal ini masih rajin membuat klaim-klaim yang tak masuk akal atas kehidupan yang mengenai sesamanya. Karena merasa kuat, berkuasa, maka kebenaran dilkaim sebagai miliknya. Yang disebut benar hanyalah yang dikatakannya benar. Lainnya tidak. Bumi dan segala isinya diklaim sebagai miliknya karena ia merasa sebagai penduduk paling asli.

Soal agama dan kepercayaan sama saja. Apa yang dianutnya dianggap paling benar. Semua anutan lain yang berbeda, dianggapnya salah. Karena itu harus dibasmi. Warna-warni kehidupan tidak dipahami sebagai wujud keagungan karya Sang Pencipta.

Lucunya, keyakinannya terus menerus mengajarkannya tentang keberbagaian. Semua yang ada adalah ciptaan Tuhan yang dipuja-pujinya. Di satu sisi ia rajin menyembah Tuhannya. Tapi di sisi lain ia juga rajin menentang kebebaran buah karya Tuhannya. Ia tidak mau sadar bahwa Tuhan memang sengaja membuat keberbagaian guna memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia yang memang diciptakan dalam keberbagaian. ***

Rabu, 03 Maret 2010

MEMPERJUANGKAN PLURALISME

Oleh Yosafati Gulo

Pemaksaan uniformitas oleh rezim pada masa lalu merupakan kesalahan besar dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Peristiwa itu tentu tidak muncul tiba-tiba. Ia mengemuka karena adanya dorongan dahsyat dari golongan sangat kuat di Tanah Air, yaitu mereka yang merasa diri paling asli dan paling berhak atas Negara dan bangsa yang namanya Indonesia. Dengan berbagai strategi golongan ini berhasil “mendikte” kekuasaan untuk menentukan warna Indonesia.

Bagi penguasa, yang memang butuh dukungan kuat saat itu, tuntutan tersebut menjadi klop. Warna-warni bangsa yang sebelum merdeka telah menjadi warna nyata Indonesai merdeka, dibabat habis. Apa yang dikenal dengan sebutan pluralisme, Bhineka Tunggal Ika, ditebas dengan ketentuan hukum. Wawasan bernegara, berbangsa, bermasyarakat, dan bahkan ber-Tuhan dipaksa menjadi sewarna sesuai sudut padangan yang dilegalkan.

Ogah dihiraukan bahwa tindakan itu melawan kodrat, karya maha agung Sang Pencipta. Tak digubris bahwa Tuhan sendiri menciptakan bumi dan segala isinya dalam aneka rupa dan warna. Majemuk! Tujuan Tuhan pastilah baik. Agar manusia bisa membedakan mana rumput dan hewan. Mana makanan dan bahan bangunan. Mana dirinya, diri istri/suami, anak sendiri, anak tetangga, anak hewan, ibu-bapak, kakek-nenek, dst. Dengan begitu, identitasnya sebagai manusia, sebagai Si A, Si B, menjadi jelas. Ia tidak sama dengan rumput atau hewan. Ia beda dengan SI C atau Si D, dst.

Coba bayangkan betapa kacaunya hidup ini kalau segala isi dunia hanya satu bentuk dan warna. Pada saat memotong ayam jadi lauk-pauk, yang dipotong ternyata bukan ayam, tetapi anaknya sendiri. Ketika membangun rumah, yang dicampur dengan semen ternyata bukan pasir dan kerikil tapi kotoran kerbau dan kambing. Ketika memenuhi hasrat manusiawi, yang dirangkul, sicumbui si suami ternyata bukan istrinya tetapi ibu sendiri, istri saudara, tetangga, atau malahan anaknya sendiri. Dan… silahkan teruskan sendiri.

Faktor Sleeping Giant

Manusia, memang beda dengan benda. Benda bisa diatur sesuka hati. Pohon kelapa yang ditanam di tempat tertentu, akan tetap tinggal dan hidup di tempat itu sampai ia mati. Ia tak berkemampuan mengolah tempatnya yang tandus menjadi subur. Mustahil baginya berpindah tempat untuk mencari makanan bergizi. Di mana ia ditanam dan apa pun yang terjadi di tempat itu ia terima seumur hidup tanpa embel-embel protes atau mencari solusi yang lebih baik.

Manusia, tidak demikian. Fisiknya bisa saja dikurung dalam penjara baja berlapis-lapis. Juga gerak lahirianhya dibatasi dalam wilayah sempit. Tapi bagaimana dengan otaknya? Benda kecil itu ternyata punya kekuatan maha dahsyat melebihi apa yang dapat dilakukan manusia secara fisik. Ia bisa terus bergerak “liar” ke mana pun ia mau. Menembus tembok-tembok penjara baja yang berada di bawah tanah sekalipun, bukalah hal sulit baginya untuk beraktivitas dan melahirkan karya-karya besar.

Nampaknya, kondisi itulah yang dialami kaum minoritas pada masa yang lalu. Ia dipenjara dalam wilayah sempit. Dihanyakan tinggal dan hidup dalam wilayah bisnis. Identitasnya dicopot dan diharuskan memakai identitas lain. Tapi ia bukan pohon kepala yang pasti pasrah pada situasi. Sebagai manusia, ia memiliki faktor “sleeping giant”. Manakala ditekan, dipojokkan, atau dipaksa, maka sleeping giantnya segera bangun. Faktor inilah yang membuatnya mampu mangolah lahan sempit dan dianggap tandus menjadi lahan subur. Bukan cuma agar bisa hidup. Tetapi, hidup yang berbuahkan kelimpahan.

Dari wilayah sempit itu, kini, ia sudah jadi “raksasa”. Kemampuannya dahsyat. Ia telah menjadi faktor kunci bagi perekonomian Indonesia. Dari wilayah itu, ia bisa mendikte arah ekonomi nasional yang barang tentu kait-mengait dengan kehidupan bangsa dan Negara. Maka, rasa was-was pun muncul di berbagai kalangan, termasuk penguasa yang sebelumnya menjadikannya sapi perah.

Akibatnya, di kalangan masyarakat tertentu muncul protes. Baik terang-terangan maupun bisik-bisik. Golongan minoritas lantas dinilai mengkhianati bangsa. Isi otaknya dituduh hanya mengumpulkan harta lalu melarikannya ke luar negeri atau ke Negara asalnya. Padahal yang melakukan itu hanya beberapa orang yang memang berwatak kotor. Tidak semua. Lagi pula, watak kotor serupa ada di mana-mana, di kalangan mana saja dengan latar belakang apa saja di indonesia.

Kalau kemudian mereka menjadi raksasa ekonomi, tentu bukan salah mereka. Itu, kesalahan Kebijakan penguasa dan kesalahan pihak-pihak yang mendorong terbitnya kebijakan tersebut.

Faktor Gus Dur

Syukur bahwa bangsa ini masih memiliki seorang Gus Dur. Dalam dua tahun menjadi Presiden, walaupun dengan keterbatasan fisik, beliau berhasil mendobrak berbagai hal yang dianggap tabu, yang tidak berani disentuh oleh pemimpin sebelumnya. Salah satunya adalah pencabutan PP No 14 tahun 1967 yang melarang kaum Tionghoa merayakan pesta agama dan adat istiadat di depan umum dan hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga.

Pencabutan PP No. 14 Tahun 1967 –yang kemudian dikukuhkan oleh Megawati Sukarno Putri melalui Keppres No 19/2002– pada masa pemerintahannya, dapat dikatakan hanya secuil dari apa yang dicita-citakan Gus Dur. Melalui tulisan, pidato, ceramah, atau komentar-komentarnya, yang sering jadi berita hangat di media, dapat diketahui betapa besar dan banyaknya opsesi Gus Dur untuk terus menegakkan hak-hak hidup manusia Indonesia.

Bagi Gus Dur, kehidupan manusia merupakan faktor sentral. Melebihi kepentingan atas dasar apa pun yang sifatnya sampiran, predikat-predikat kehidupan. Oleh karena itu, jangan hanya karena warna kulit, etnisitas, bahasa, bahkan agama, maka kehidupan dikorbankan. Cara pandang itulah yang menempatkan Gus Dur sebagai pemimpin besar, sekaligus unik. Benar-benar tidak ada duanya. Ia adalah “bapak” segala suku dan etnis, “bapak” segala agama dan kepercayaan, “bapak” bagi yang ditindas dan dipinggirkan, “bapak” pluralisme, “bapak” demokrasi, dan “bapak” besar bagi Indonesia.

Dari pemberitaan media diketahui bahwa dobrakan Gus Dur tidak mulus diterima. Nada sinis, olok-olok, dan menentang dari pihak-pihak yang tidak setuju begitu gencar diarahkan kepada beliau saat itu. Namun, Gus Dur tetap tegar. Sedikitpun tak tampak keraguan apalagi gugup saat mengambil keputusan.

Alasan Gus Dur, sebenarnya, begitu gamblang, mudah dipahami oleh siapa pun. Pertama, beliau sepenuhnya sadar bahwa bumi ini, termasuk Indonesia, adalah milik Sang Pencipta, yang diberikan kepada manusia untuk mempertahankan kehidupan dengan segala aspeknya. Boleh saja Negara menerbitkan rupa-rupa aturan hukum untuk mengatur tatanan hidup warga, namun jika hal itu mengerdilkan kehidupan, memangkas hak-hak hidup sebagian warganya, maka aturan tersebut harus dicabut.

Kedua, hak-hak hidup seseorang bukanlah pemberian siapa pun. Tapi, pemberian langsung Sang Pencipta. Hak tersebut diberikan sama bagi setiap orang. Karena itu, tak boleh ada yang –karena kuasa,pengaruh, atau merasa kuat– menebas hak orang atau golongan tertentu. Menebas hak-hak hidup orang lain, dan memperbesar hak-hak hidupnya sendiri di atas bumi yang sama, sama halnya meyetarakan diri sendiri dengan Sang Pencipta. Dan ini, dinilai Gus Dur berbahaya!

Sejatinya, apa yang diperjuangkan Gus Dur, bukan “barang” asing. Apalagi beraroma “Barat” seperti sering dituduhkan kepadanya. Ini, benar-benar produk dalam negeri. Asli Indonesia yang telah didokumentasikan dalam apa yang kita sebut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Itu artinya bahwa apa yang dilakukan Gus Dur jauh dari nyeleneh. Semata-mata merupakan usaha konkret-nyata mengembalikan keindonseiaan Indonesia pada rel cita-cita bangsa dan Negara.

Gampang-gampang Susah

Mempertahakan dan menyuburkan penerimaan pluralisme di berbagai aspek kehidupan dapat dikatakan gampang-gampang susah. Gampang, apabila para pemimpin yang ada, baik di lembaga pemerintahan maupun yang lain terus memperjuangkan cita-cita Proklamasi sebagaimana telah dirumuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Susah, manakala para pemimpin yang ada, dan akan ada, masih terus mengotak atik cita-cita Proklamasi dari sudut kepentingan tertentu dan membuat penafsiran-penafsiran yang cenderung keluar rel.

Pengakuan atas hak hidup beragama, berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu, merupakan contoh yang terus diutak-atik. Hanya karena kepentingan tertentu, maka sebagian warga bangsa Indonesia terus dipojokkan. Bukan cuma menyangkut ruang gerak yang cukup untuk beribadah secara wajar. Tetapi hak hidup keberagamaan dan berkepercayaan mereka terus-terusan dikerdilkan.

Dari waktu ke waktu, kita terus disuguhi penghakiman atas agama dan kepercayaan tertentu. Dengan pongah selalu ada yang berkata bahwa agama ini atau itu salah, oleh karena itu harus dilarang.

Pertanyaannya, apakah Tuhan tidak tertawa terbahak-bahak menyaksikan perbuatan seperti ini? Apakah Tuhan tidak berkata, “Lho…! kamu kok berani bilang bahwa yang itu salah dan ini benar, padahal Aku sendiri belum pernah berkata seperti itu dalam Firman-Ku?”

Menurut saya, apa yang dilakukan Gus Dur perlu diperjuangkan terus. Kita tak boleh diam atau hanya menunggu datangnya “dewa” pengganti Gus Dur. Gantinya adalah kita semua, cara pandang dan semangat kita memperjuangkan pengejawantahan Pancasila dan UUD 1945 dalam berbangsa dan bernegara. Itu saja!