Rabu, 18 Agustus 2010

KETIKA BALIHO BERTUTUR TENTANG INDONESIA

Oleh : Yosafati Gulo

Kompas edisi 13 Juli 2010 memuat potret jitu sebuah baliho di jalan Notoprajan, Yogyakarta. Tiang pancang baliho itu, tampaknya terambil dari bambu kering. Salah satu tiangnya dipancang berdempetan dengan tiang listrik sehigga tampak kokoh. Tepat di depan baliho turut terpotret pengendara sepeda motor. Dikemudikan oleh seorang ibu muda dengan dua anak kecil di boncengan. Ketiganya tidak memperhatikan tulisan di baliho. Tapi dua anak kecil di belakang si pengendara serentak memegang jidatnya dengan tangan kanan.

Di seberang jalan, membelakangi kamera, samar-samar terlihat dua pejalan kaki berpapasan dengan pengendara motor. Sepertinya mereka berjalan pelan menyambilkan diri membaca tulisan di baliho yang disablon dengan huruf-huruf kapital: “KORUPTOR LEBIH BERBAHAYA DARIPADA TERORIS, KORUPTOR MENJARAH MASA DEPAN ANAK BANGSA”.

Sepintas, potret baliho itu biasa. Namun, kalau dicermati serius dan direnungkan ternyata ia mengandung sejumlah makna dan pesan. Bukan saja pada makna kata-kata di baliho, tetapi melalui penampilan baliho itu sendiri si wartawan Kompas telah bertutur banyak tentang makin gilanya korupsi di Indonesia.

Pesan Tulisan

Rasanya tidak harus jadi ilmuwan, sarjana, DPR, atau pejabat. Asal bisa baca, pesan tulisan di baliho pasti dimengerti. Pembaca akan paham bahwa teroris dan koruptor punya kesamaan. Dua-duanya berbahaya, mengancam, bahkan menghancurkan kehidupan.

Kendati ada kesamaan, cara tampil dan misi keduanya beda. Teroris cenderung tampil vulgar, kasar, dan keras. Tapi, sasarannya selektif. Tidak asal babat.

Teroris mengancam, merusak, hanya pada sasaran tertentu. Ia fokus menghancurkan sebuah ideologi dan penganutnya yang diposisikan sebagai musuh sekaligus memperjuangkan ideologi yang diyakininya benar.

Dalam usahanya itu, teroris tampil dalam rupa-rupa kekerasan. Membunuh satu orang atau masal. Mengebom gedung, pesawat, kapal atau fasilitas-fasilitas umum. Tujuannya jelas : melumpuhkan kelompok, negara atau ideologi yang bertentangan dengannya guna memenangkan ideologinya.

Sebelum beraksi, para teroris sulit diidentifikasi. Dengan gaya hidup yang santun dan taat beribadah, mereka tampak seperti orang beriman. Masyarakat terkadang baru tahu ketika menyaksikan tindakan brutal atau bahkan menjadi sasaran pengeboman, pembunuhan.

Motivasi Dasar Koruptor

Koruptor lain. Dalam beraksi ia sangat halus, tidak vulgar. Cuma, sasarannya sembarangan. Tidak fokus seperti teroris. Bisa mengarah teman sendiri, kelompok sendiri, lembaga negara, swasta, saudara sendiri, atau siapa pun. Motivasi dasarnya bukan membunuh secara langsung. Tapi, mengejar materi.

Dalam bahasa kasar, motivasi, cita-cita, dan tindakan koruptor berpusat pada isi perut dan dompet. Membuncitkan perut dan mempertebal ini dompet! Intinya, duit, duit, dan duit!
Perbedaannya lainnya dengan teroris, koruptor tidak memosisikan orang lain sebagai musuh. Orang lain baginya adalah “kawan” atau dijadikan “kawan” agar ia bisa leluasa mendapatkan materi yang memiliki nilai ekonomi. Gayus dan beberapa pejabat termasuk beberapa anggota DPR yang kini tengah menikmati “penginapan” gratis di penjara telah menerapkan secara jitu cara-cara berkawan seperti itu.

Dalam aksinya, koruptor tidak mengenal istilah halal dan haram. Semua hal bisa ia dihalalkan. Jika ia pejabat, maka posisinya selalu dimanfaatkan “seproduktif” mungkin demi duit. Ia tidak pusing apakah itu merugikan orang banyak, masyarakat, dan negara. Bagi koruptor, siapa pun dan lembaga apa pun merupakan alat transportasi untuk mencapai singgasana kelimpahan materi.

Untuk memuluskan aksinya, koruptor juga tampil santun. Tutur katanya ramah dan memikat hati. Ia murah senyum dan terkesan penuh perhatian terhadap kebutuhan orang lain. Dalam menjerat mangsa, cara kerjanya halus. Mula-mula menciptakan citra dirinya sebagai dermawan, beritegritas diri tinggi, dan terpecaya. Tapi awas! Setelah dia tahu Anda yakin, ia pasti menancapkan taringnya di hati Anda guna mengeruk sebanyak mungkin materi untuk setiap urusan.

Tapi dari gaya hidup, koruptor bisa diketahui. Lebih-lebih kalau ia pejabat negara. Dalam kedudukan dan posisi dapat diperkirakan penghasilannya perbulan. Dengan gaji antara 2 juta sampai 12 juta umpamanya (seperti Gayus) mustahil bisa membangun rumah dengan nilai milyaran rupiah setelah menjadi pegawai negeri dalam beberapa tahun. Mustahil pula ia, istri atau suami dan anak-anaknya memiliki mobil mewah kalau hanya dari gaji.

Menjarah Masa Depan

Akibat ulah teroris dan koruptor tidak bisa dinilai secara matematis. Sebab tidak melulu benda bernilai ekonomi, tetapi juga nyawa dan masa depan manusia. Penabrakan pesawat di gedung WTC di Washington, Amerika Serikat, bom Bali I dan II, dan Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta beberapa waktu lalu adalah sekelumit contoh yang tidak bisa dirupiahkan dari ulah teroris dengan dampak multi dimensi.

Bagaimana dengan koruptor? Nampaknya tulisan baliho benar. Akibatnya jauh lebih berbahaya. Tidak saja mengancam kehidupan sekelompk orang atau lembaga dalam waktu tertentu. Tapi untuk seluruh anggota masyarakat, bahkan bangsa, dan negara dalam waktu yang lebih lama.

Pemberian ijin mengalihkan fungsi hutan lindung dan sawah-sawah produktif menjadi area usaha bagi pemodal oleh pejabat berwenang karena diberi segepok uang untuk membuncitkan perut telah menjarah kepentingan masa depan banyak generasi. Penilapan milyaran bahkan triliyunan rupiah pajak oleh beberapa orang yang seharusnya digunakan untuk membangun berbagai fasilitas`umum, termasuk lembaga pencerdas bangsa, lembaga pendidikan, jelas-jelas menjarah kesejahteraan masyarakat dan masa depan banyak generasi.

Coba saja hitung apa yang bisa dilakukan untuk kepentingan bangsa dari nilai korupsi sebesar Rp 1,1 triliyun di Jawa Timur sebagaimana dilansir oleh Jaringan Kerja Anti Korupsi di Jawa Timur (JKAKJ) sampai akhir tahun 2009 (Sriwijaya Post - Rabu, 9 Desember 2009). Atau uang negara sebesar Rp 444 triliyun yang diselewengkan pada tahun 2004 yang melebihi APBN sebesar Rp 370 trilyun tahun yang sama seperti dikemukakan Kwik Kian Gie, yang kemudian dirujuk oleh Rektor UGM Prof Dr Sofian Effendi, ketika menjadi keynote speech pada seminar nasional dan workshop antikorupsi ''Melanjutkan Dialog Menuju Indonesia Bersih'' yang diselenggarakan oleh BEM KM UGM di auditorium MM UGM Yogyakarta beberapa waktu lalu (CyberNews, 17-02-2006).

Dengan uang itu, puluhan juta anak Indonesia miskin bisa disekolahkan tanpa bayar sepeser pun atau puluhan juta pengusaha kecil bisa diberdayakan dengan latihan ketrampilan dan pemberian modal cuma-cuma oleh negara demi masa depan bangsa yang adil.

Belum lagi kalau ditambahkan nilai korupsi yang lebih kecil tapi toh bermilyar-milyar seperti diungkap media. Di Jateng, dari 2007 hingga Mei 2009, jumlah kerugian negara Rp181,5 miliar dan 5,6 juta dolar AS (Antara News, 5 Juni 2009). Yang terbaru, korupsi Kepala Kantor Wilayah Pajak Sulawesi Selatan, Barat, Tenggara Edi Setiadi sebesar Rp 2,55 miliar (Jawa Pos,28 Juli 2010). Atau ratusan milyar yang ditilap Gayus H Tambunan, termasuk yang 2 juta dollar AS yang diakui diserahkannya kepada Haposan untuk dibagi-bagikan kepada jaksa, penyidik, hakim, dan tim pengacara (Kompas com, 3-8-2010)

Jumlah tersebut makin besar bila turut dijejer nilai berbagai KKN para pejabat lain. Sebutlah misalnya yang melibatkan 6 orang Gubernur, 4 anggota DPR RI, dan 12 orang Bupati berlatar belakang Partai Golkar; 1 orang Gubernur, 3 aggota DPR RI, dan 5 Bupati berlatarbelakang Partai Demokrat; 2 Gubernur, 1 anggota DPR RI, dan 5 orang Bupati berlatarbelakang PDI Perjuangan; 4 orang anggota DPR RI berlatar belakang Partai Persatuan Pembangunan; 2 anggota DPR RI dan 2 Bupati berlatar belakang Partai Amanat Nasional, dll dengan nilai bervariasi antara ratusan juta sampai milyaran rupiah (http://kasus-korupsi.com/).

Menurut pengamatan Prof Dr Sofian Effendi, merebaknya kasus-kasus korupsi merupakan akibat dari debirokratisasi dan desentralisasi pemerintahan yang berlangsung cepat sejak bergulirnya gerakan reformasi. Tapi yang lebih merisaukan adalah apa yang dikemukakan mantan Ketua MPR RI M Amien Rais lewat bukunya berjudul “Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia” (BPOST,13-05-2008). Menurut Amien Rais, pusat korupsi bahkan sarang korupsi terbesar di Indonesia adalah Istana Negara.

Lha, kalau sudah begini, lalu siapa yang diharapkan bisa mengendalikan pemberantasan penjarahan masa depan anak-anak bangsa? Presiden? Mustahil! Pusat dan sarangnya kan di Istana! Dan ini sudah terbukti. Ketika hasil kerja Pansus kasus Bank Century di DPR RI yang semula berapi-api di gedung DPR tapi berbalik 180 derajat bak es cream setelah sampai di tangan Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono.

Berharap kepada DPR RI, DPRD, Gubernur, Bupati/Wali Kota, Kepala-Kepala Dinas? Rasanya sama dengan mengharapkan matahari terbit dari barat. Mustahil juga. Sebab semua lembaga itu merupakan jaring-jaring dari Istana Negara: pusat dan sarang korupsi.

Pesan Baliho

Pada titik ini, kita disadarkan oleh baliho. Baliho itu ternyata potret bangsa dan negara kita. Ia memberi pesan sempurna dalam mempersonifikasi negara, para pejabat, dan rakyat Indonesia. Tiang penyangga yang tampak kokoh menyimbolkan para pejabat mulai dari Presiden sampai pejabat paling bawah. Kokoh di penampilan dan kata-kata, tapi loyo di tindakan.

Pengendara motor dan dua anak kecil di boncengan menyimbolkan sikap kebanyakan kita yang cuek pada apa yang terjadi, kendati kita sakit kepala melihat keadaan negara. Ini disimbolkan oleh seorang anak yang memegang jidatnya di boncengan.

Pejalan kaki yang menyempatkan diri mengamati baliho menyimbolkan sikap kita yang terus terheran-heran pada ulah pejabat yang koruptor dan koruptor yang pejabat.

Ini artinya bahwa memberantas korupsi mustahil dilakukan dengan sistem yang ada. Kekuatan KPK sebagai lembaga super body dalam menangani korupsi, ICW, pers, dan LSM-LSM yang peduli akan terus jadi bulan-bulanan para pejabat di lembaga-lembaga negara lain plus pengusaha yang merasa nyaman dengan korupsi.

Alternatif yang paling mungkin menyegerakan penerapan hukuman mati bagi para koruptor. Nampaknya ini solusi terakhir. Pertanyaannya, apakah Indonesia siap?

Sabtu, 07 Agustus 2010

MENYOAL UNDANGAN CAMAT KEDIRI TIMUR

Oleh Yosafati Gulo

Tadi pagi (Sabtu, 7-8-2010), saya menerima SMS dari teman. Isinya, menginfomasikan sekaligus minta dukungan doa atas Surat Dinas dari Camat Kediri Timur, Jawa Timur, kepada salah seorang Pendeta. Surat Dinas itu tenyata undangan untuk mempertemukan Sang Pendeta dengan warga sekitar yang keberatan atas ibadah di tempat Pendeta.

Mengapa SMS ini menarik? Pertama, temanya kurang lazim. “Bermusyawarah dengan warga desa perihal keberatan warga desa setempat atas dipakainya rumah tinggal Pendeta yang bersangkutan sebagai tempat beribadah.” Kedua, pemilihan waktu dan tempat pertemuan tampak janggal. Dilaksanakan pada hari Minggu, 8 Agustus 2010, pukul 19.00 Wib di Balai Desa setempat, bukan di kantor Camat. Ketiga, peserta pertemuan cenderung menimbulkan kecurigaan. Sebab, bukan cuma Camat, Kepala Desa, Tokoh masyarakat, dan Pendeta. Tetapi melibatkan seluruh warga di desa setempat.

Usai membaca SMS, di benak saya langsung mencuat sederetan pertanyaan. Bagaimana memusyawarahkan sebuah keberatan? Apakah keberatan warga masih dinilai simpang siur tak karuan sehingga perlu dirumuskan melalui musyawarah? Yang disoal toh sudah jelas. Warga desa setempat keberatan atas pemakaian rumah tinggal sebagai tempat ibadah. Tapi, mengapa hal ini depermasalahkan? Apakah ini musyawarah betulan atau jangan-jangan “pengadilan” jalanan terhadap Pendeta oleh warga desa tersebut atas dukungan Camat?

Karena tidak mengerti, saya lalu berusaha menduga-duga. Dugaan kesatu, bahwa keberatan tersebut pasti tidak muncul dari semua warga desa setempat. Hanya muncul dalam kalangan saudara-sudara penganut agama lain di luar warga yang beragama Kristen. Ini pun tidak semua. Kemungkinan besar hanyalah dari kalangan saudara-saudara penganut agama Islam. Alasannya ialah bahwa penduduk di sekitar tempat Pendeta sebagian besar beragama Islam. Hindu, Budha, Konghucu, atau agama lain, hampir tak ada atau malah tidak ada sama sekali.

Dugaan kedua, istilah bermusyawarah dalam konteks di atas sebetulnya bukan musyawarah. Tapi, sekadar kesempatan untuk mempertegas keberatan atas pelaksanaan ibadah di rumah tinggal. Kalaupun ada upaya mencari solusi, saya kuatir bahwa solusi itu berwujud pelarangan, yang –semoga saja tidak—disertai ancaman. Solusi seperti ini pastilah hanya terasa sejuk dan nyaman bagi pihak tertentu, dan sebaliknya bagi yang lain.

Kalau benar dimikian –moga-moga tidak-- apakah peristiwa ibadah sedemikian kacaunya, ramai, berisik, sehingga mengganggu warga lain di luar jemaat Kristen? Ataukah warga tersebut memang keberatan bila orang Kristen beribadah? Atau keberatannya melulu pemakaian tempat tinggal sebagai tempat beribadah? Atau hanya karena nyanyian (dan barangkali dengan tepuk tangan) warga jemaat saat beribadah terlalu keras?

Alasan Keberatan

Belajar dari peristiwa-peristiwa serupa di berbagai tempat pada masa lalu, saya menduga –semoga saya salah—bahwa keberatan tersebut bukan karena kacaunya atau berisiknya ibadah. Ibadah jemaat Kristen tidak pernah kacau atau hiruk-pikuk seperti di terminal bus, stasiun kereta, atau pelabuhan udara, kecuali pada saat ada masalah. Juga bukan karena kerasnya suara nyanyian jemaat. Sekeras-kerasnya suara nyanyian jemaat Kristen tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan kerasnya suara yang memakai pengeras suara dari Mesjid atau langgar pada saat saudara-saudara Islam beribadah.

Lagi pula, nyanyian pada ibadah Kristen kedengaranya merdu dan enak didengar. Pada jemaat tertentu, kebanyakan berirama klasik, dan sebagian lainnya berirama pop. Dijamin, tidaklah kalah dari lagu-lagu pop yang dinyanyikan Anang dan Syahrini, Afgan, Viera, Anggun C. Sasmi, Agnes Monica, Melly Guslow, dan seterusnya, atau dangdut yang dinyanyikan Rhoma Irama, Inul Daratista, dan lainnya kegemaran kebanyakan anggota masyarakat.

Jika demikian –semoga saya salah lagi—maka keberatan warga desa setempat mudah ditebak. Melulu pada kehadiran ibadah Kristen di tempat tersebut! Kalaulah pemakaian tempat tinggal diangkat sebagai soal, menurut saya tak lebih dari sekadar dalih, agar ada alasan saja, supaya mereka tidak disebut melanggar HAM, Pancasila, dan UUD 1945.

Kalau mau jujur, tentu bagi yang mau, suara yang memakai pengeras suara di Masjid atau Langgar jauh lebih mengganggu. Lebih-lebih bagi warga yang dekat dengan Mesjid atau langgar. Entah dia orang Kristen, Islam, Hindu, Budha, Aliran Kepercayaan, maupun yang tidak beragama sekalipun. Bayangkan saja, saat masih enak-enak tidur sebelum subuh, tiba-tiba dikejutkan oleh kerasnya suara beduk dan azan. Bagi orang sakit atau yang masih butuh istrirahat karena capek kerja seharian sampai larut malam kejutan itu tidaklah menyenangkan.Tapi ini tidak diprotes warga karena dinilai sebagai hak dasar saudara-saudara Islam dalam beribadah.

Ibadah Orang Kristen di Mesjid. Mungkinkah?

Dijatuhkannya waktu pertemuan pada hari Minggu, pukul 19.00 Wib, jelas menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa bukan pada hari-hari kerja? Apakah Camat sedemikian sibuknya sehingga dari Senin Sampai Jumat tidak ada waktu sama sekali? Jika ya, mengapa bukan pada hari Sabtu saja? Sebab, Sabtu adalah hari prei bagi Sang Camat.
Perlu dicatat bahwa hari Minggu pada jam tersebut merupakan waktu ibadah bagi warga jemaat Pendeta yang bersangkutan. Ini artinya undangan tersebut sulit disebut undangan. Sisi luarnya memang undangan. Tapi sisi dalamnya, yang tak terlihat, adalah gangguan nyata bagi warga Kristen yang beribadah oleh seorang Camat.

Pertanyaannya, dapatkah hal ini ditoleransi karena pelakunya adalah Camat, penguasa di tingkat Kecamatan? Seharusnya tidak. Tapi apakah di negara ini ada kekuatan untuk menyoal penguasa yang salah setelah Gus Dur wafat? Moga-moga masih ada. Ironisnya, Si Camat mengajak warga bermusyawarah soal keberatan demi kenyamanan warga, sementara dia sendiri menganggu kenyamanan warganya yang beribadah.

Seharusnya Pendeta memiliki hak untuk menolak menghadiri undangan tersebut. Alasannya pada saat itu Pendeta memimpin ibadah untuk warga jemaatnya. Tapi apakah hal ini dapat diterima dan mau dimengerti oleh Camat? Rasanya sulit. Ada kemungkinan, Si Camat malah mengahrapkan kejadian tersebut. Dengan begitu, Si Camat memiliki alasan kuat untuk turut memojokkan Pendeta dan ibadah warga jemaatnya? Ujung-unjungnya, mudah ditebak. Melarang ibadah orang Kristen di desa bersangkutan.

Jika ini yang terjadi, kita pasti bertanya lagi. Mengapa warga (dan Camat?) tersebut begitu gelisah pada ibadah orang Kristen? Apanya yang salah dengan Ibadah orang Kristen? Apakah dalam ibadah Kristen ada upaya mengumpulkan kekuatan untuk melakukan pembunuhan masal atau pembakaran? Ataukah orang Kristen sebaiknya tidak usah beribadah? Atau ibadahnya tidak usah dilakukan di gereja atau di rumah, tapi di Mesjid atau di Langgar saja? Tapi apa boleh?

Jika jawabnya ya, tentu sebuah terobosan luar biasa dalam sebuah negara berlatar belakang multi kemajemukan. Ini dapat membawa banyak nilai positip. Bukan cuma dalam meningkatkan rasa persaudaraan antar umat Kristen dan Islam. Dalam pembangunan rumah-rumah ibadah pun dijamin akan lebih lancar. Karena dibangun bersama dengan sumber dana bersama. Secara teknis, cara ini bisa diwujudkan. Sebab jam-jam ibadah orang Kristen biasanya tidak bersamaan dengan jam-jam ibadah umat Islam.

Di tempat-tempat tertentu yang tidak ada Mesjid atau langgar, bisa dilakukan hal sebaliknya. Umat Islam beribadah di Gereja. Soal terkadang bertabrakannya waktu ibadah seperti pada acara-acara Natal yang kebanyakan pada malam hari saat Shalat Isha pastilah dapat dibicarakan dengan musyawarah. Yang jadi soal, barangkali, adalah keyakinan akan doktrin ibadah. Yang satu mungkin menganggapnya bisa, tapi yang lain menganggapnya haram. Tentu kalau sampai ke soal ini, mustahil dicapai titik temu. Kendati demikian, saya harap, Si Camat dapat mempertimbangkan usul ini sebagi bagian dari musyawarah. Biarlah kota Kediri menjadi contoh indah bagi Indonesia dan dunia Internasional.

Musyawarah = duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi

Dari sisi peserta, musyawarah itu jelas tidak berimbang. Seorang Pendeta diperhadapkan dengan massa. Yang dikuatirkan ialah pembicaraan cenderung bermuara pada pemojokan Pendeta. Dalam suasana seperti itu pastilah psikologi massa yang main. Ketika seseorang bicara dalam nada mendukung pendapat massa, walaupun salah, pastilah disambut gegap gempita. Sebaliknya, bila bernada menengahi apalagi yang berseberangan, pastilah disambut dengan cemoohan. Bukan tidak mungkin pula akan muncul suara-suara provocatif dengan teriakan-teriakan yang menjurus pada kerusuhan. Apakah Camat sudah memperhitungkan kemungkinan ini? Semoga ya.

Musyawarah seharusnya berupaya mencari solusi yang baik bagi siapa pun. Mencapai ini, tentu tidak semudah mengatakannya. Terutama bila ada yang apriori menempatkan diri dan pendapatnya sebagai paling benar, dan karena itu harus diikuti. Sebuah musyawarah hanya dimungkinkan bila semua yang hadir mampu dan mau menerapkan filosofi “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”. Artinya, gagasan yang dillontarkan seseorang perlu ditempatkan bernilai setara dengan gagasan siapa pun. Harus diposisikan sebagai gagasan yang dapat saja benar, bernilai, dan tepat, dan dapat juga sebaliknya. Dengan cara ini, pengambilan keputusan harus didasarkan pada menelusuran secara hati-hati nilai-nilai positip yang memberi bermanfaat bagi semua atas persetujuan semua peserta musyawarah.

Jika hal ini dapat dilakukan, ketidakseimbangan jumlah peserta, tentu tidak jadi masalah. Sebab, gagasan yang dimenangkan bukanlah gagasan yang didukung banyak peserta walaupun salah, tetapi gagasan yang dinilai bersama sebagai terbaik oleh dan untuk bersama dalam suasana bebas tanpa tekanan. Pak Camat, bisakah?

Selasa, 03 Agustus 2010

MENCOBA MEMAHAMI KEMATIAN

(Tulisan ini dibuat pada hari Jumat, 30 Juli 2010. Pada hari yang sama sudah dipublikasikan di face book. Kalau hari ini muncul pada web ini semata-mata karena memang baru ada kesempatan. Jadi kalau membaca kata ‘tadi pagi’, jangan diartikan sebagai waktu pada saat Anda membaca. Tetapi diartikan sebagai pagi hari Jumat yang tersebutkan sebelumnya)

Oleh Yosafati Gulo

Tadi pagi, saya menghadiri kebaktian pemakaman Pak Arif Andreyana di Tiong Ting Salatiga. Pak Arif (demikian beliau biasa dipanggil) adalah suami Bu Raema, dosen JPBS (sekarang FBS) UKSW Salatiga. Kebaktiannya dipimpinan seorang Pendeta muda GKI Salatiga, Pdt Yefta. Tema kotbah, diangkat dari peristiwa kematian seorang anak Raja Daud yang dilahirkan Batsyeba, mantan istri Uria. Diceritakan bahwa Daud sangat sayang terhadap anak itu. Tapi karena ia lahir dari sebuah persitiwa nista di mata Tuhan, anak itu lalu ditulahi Tuhan sehingga akhirnya ia mati.

Dikisahkan bahwa sebelum mati, anak tersebut sakit parah. Daud memohon kesembuhan kepada Tuhan dengan berpuasa secara tekun selama tujuh hari. Bahkan semalam-malaman Daud tidur di lantai sebagai ungkapan penyesalannya atas dosanya kepada Tuhan. Sampai hari ketujuh, anak itu mati. Mulanya para pegawai istana takut memberitahukannya kepada Daud. Mereka kuatir Daud akan mencelakakan dirinya karena rasa kehilangan.

Dugaan pegawai Istana ternyata meleset. Setelah mengetahui bahwa anak itu telah mati, Daud tidak mencelakakan dirinya seperti dugaan pegawai Istana. Malahan ia langsung bangun dari lantai, mandi dan bertukar pakaian, lantas masuk ke rumah Tuhan untuk menyembah. Sesudah itu ia pulang ke rumahnya, lalu makan roti permintaannya.

Bagi pegawai Istana, respon Daud itu aneh. Tidak kemakan logika. Dengan sedikit takut-takut, mereka lalu bertanya, “Apakah artinya hal yang kauperbuat ini? Oleh karena anak yang masih hidup itu, engkau berpuasa dan menangis, tetapi sesudah anak itu mati, engkau bangun dan makan!” tanya mereka penuh rasa penasaran.

Apa jawab Daud? “Selagi anak itu hidup, aku berpuasa dan menangis, karena pikirku: siapa tahu TUHAN mengasihani aku, sehingga anak itu tetap hidup. Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa? Dapatkah aku mengembalikannya lagi? Aku yang akan pergi kepadanya, tetapi ia tidak akan kembali kepadaku.”

***

Kisah di atas nampaknya mengajak kita untuk mengoreksi cara-cara kita merespon peristiwa kematian. Banyak orang sering tenggelam dalam perkabungan setelah ditinggal orang yang dikasihi. Bukan cuma menangisi berhari-hari, berminggu, berbulan, bahkan tahunan. Tapi sampai-sampai ada yang tidak memperhatikan dirinya sendiri dan akhirnya jatuh sakit.

Peristiwa kematian, memang menyedihkan. Siapa sih yang bersuka ria kalau orang yang dikasihi pergi untuk selamanya? Tentu tidak ada. Tapi mengapa harus menambah kesusahan diri berketerusan? Bukankah yang mati tetap tidak bisa kembali? Cara berpikir Daud, agaknya patut diperhitungkan. Yang mati tidak mungkin kembali. Kitalah, yang hidup, yang akan pergi menuju ke kematian.

Nampaknya perlu disadari bahwa persitiwa kematian adalah sebuah proses alami. Suatu tahap yang, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, dilalui oleh setiap orang yang pernah lahir. Ada semacam siklus alami yang tidak bisa dicegah atau dihindari. Lahir dan mati adalah dua ujung pembatas dan pasti terjadi pada kehidupan. Dari sisi ini, kita, semua manusia sama. Tidak lagi ada orang Yunani atau Yahudi, beragama A atau B, berpendidikan C atau D, berambut lurus atau keriting, orang kota atau desa, dst. Yang berbeda hanyalah caranya datang dan kapan waktunya dalam hidup kita masing-masing.

Saat ini Bapak Arif Andreyana telah sampai pada ujung terakhir. Kita yang masih hidup, sesungguhnya sedang antri menuju ke arah yang sama. Tak ubahnya ketika mengantri di depan loket bank atau mengantri menunggu panggilan pemeriksaan di ruangan tunggu praktek dokter. Dalam antrian itu, saya harap semua sabar dan tertib dalam garis antrian. Jangan ada di antara kita yang main terobos, salip-salipan seperti para pengendara di jalan raya.

Selain itu, peristiwa kematian nampaknya merupakan pembuktian bahwa manusia tidak memiliki kuasa apa pun atas kehidupannya, apa lagi kehidupan orang lain. Manakala kematian menjemput, kita tidak bisa menolak. Juga tidak bisa menawarkan tebusan bagi yang lain. Atau memohon penangguhan seperti penangguhan penahanan yang biasa dilakukan kepada seseorang yang ditahan oleh polisi atau jaksa.

Dengan demikian, kematian adalah sebuah peringatan bagi kita yang masih antri. Pertama-tama agar kita terus awas bahwa apa yang kita alamai dan kita sebut hidup adalah sebuah jangka waktu. Terbatas. Berawal dan berakhir. Dalam rentang kedua ujung itu, kita perlu melakukan sesuatu yang berkmakna. Bermakna kepada siapa? Bisa saja kepada siapa saja dan untuk kehidupan.

Kedua, bahwa hidup yang ada pada kita saat ini berada di luar kendali kita. Ia bukan sebagai milik yang bisa kita atur dan rencanakan. Hidup yang saat ini ada pada diri kita adalah milik Sang Pemilik Kehidupan. Bagi yang percaya, silahkan sebut : Tuhan. Itu artinya, kalau kita masih hidup pastilah bukan karena kuasa kita atau program kita. Semata-mata karena kemurahan Sang Pemilik Kehidupan. Karena Ia masih berkenan mempercayakan, menitipkan, kepada kita sebuah kehidupan. Tiap orang diberi-Nya sama dan hanya satu.

Mau lebih dari satu? Tidak bakalan dikasih-Nya. Bukan apa-apa. Tuhan (barangkali) berpikir, ngapain dikasih dua, satu saja manusia tidak bisa urus. Tidak digunakan untuk membangun kehidupan. Malahan ada yang memakainya untuk memeras kehidupan yang lain untuk kesenangannya sendiri. Mau menyogok Tuhan? Oh oh jangan coba-coba. Tuhan tidak bisa diajak kompromi atau ber-KKN seperti para pejabat di negara kita.

Kalau demikian, selama masa mengantri ini apa yang seharusnya dilakukan? Jawabannya tentu berbeda bagi tiap orang. Nasehat untuk ini juga sudah banyak kita dengar atau baca. Karena itu saya tidak memasuki wilayah ini. Saya hanya mau mengajak kita untuk melakukan satu hal, yaitu setiap orang perlu terus mengajukan pernyataan mengapa Sang Pemilik Kehidupan, Tuhan, masih mau mempercayakan kepadaku dan kepadamu sebuah kehidupan? Apa yang Dia maui kita lakukan dalam kerangka horinzontal dan vertikal? Apa yang Tuhan kehendaki kita lakukan bagi sesama dan bagi DIA?

Dengan alur berpikir ini saya setuju dengan Paulus ketika ia berkata dalam suratnya kepada Jemaat di Roma, Roma 12 : 1, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”

Mengacu pada nasehat itu, saya setuju bahwa hidup ini tidak pantas dipakai sembarangan. Tubuh ini jangan dipakai suka-suka. Apalagi sebagai pejabat, penguasa, pemodal, lalu memakai hidupnya untuk menjarah harta bangsa dan negara yang seharusnya perlu untuk melayakkan kehidupan orang banyak. Yakinlah, itu tak perlu. Sedikitpun tidak akan mampu memperpanjang masa antrian menuju ujung kehidupan.

Paulus bilang, jadikanlah hidupmu sebagai persembahan. Ops! Tapi, jangan kepada roh-roh jahat atau nafsu-nafsu duniawi dan sejumlah keinginan daging. Bagi Paulus, ukurannya jelas: sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah!

Tentu saja bukan maksudnya tubuh kita dibakar sebagai korban seperti konsep persembahan yang sering disalahpahami. Mempersembahkan tubuh (baca:kehidupan) berarti mengelola kehidupan dalam segala aktivitasnya menjadi sesuatu yang perlu bagi yang lain. Ya sesama manusia, ya kehidupan yang lain. Karena ukurannya jelas, maka setiap kita beraktivitas, pertanyaan yang harus selalu diajukan ialah apakah aktivitas ini kudus dan berkenan kepada Allah?

Dalam pekerjaan pada posisi apa pun, kita harus selalu koreksi dengan pertanyaan tersebut. Sebelum mengeluarkan kebijakan, tanya dulu apakah kebijakan itu kudus dan berkenan kepada Allah? Kalau berniat menilap uang rakyat, me-mark up nilai proyek, mengajar asal-asalan, memberi nilai (maha) siswa, memberi tugas karyawan, dst., tanya dulu apakah tindakan itu kudus dan berkenan kepada Allah. Jika jawabnya ya, lakukanlah! Tapi kalau tidak, ada baiknya berhenti karena apa pun yang diperoleh dalam aktivitas itu tak akan pernah punya nilai sebagai sebuah persembahan yang kudus dan berkenan kepada Allah, Sang Pemilik Kehidupan.

Saya berpendapat, bahwa Pak Arif Andreyana telah berusaha melakukan hal tersebut selama hidup dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Kalau saat ini beliau kita sebut mati, pastilah bukan karena rencana atau pilihan beliau. Kemungkinan besar (saya terpaksa menguda-duga lagi karena memang tidak pernah tahu persis) karena Tuhan, Sang Pemilik hidup pak Arif menilai bahwa tugas-tugas kehidupannya sudah cukup.

Tugas yang masih sisa adalah untuk orang lain. Tugas Anda dan saya. Oleh karena itu, rasa-rasanya tak ada alasan untuk tidak merelakannya pergi. Atau memintanya kembali. Atau terus memohon agar Tuhan menahannya dalam garis antrian. Itu di luar kehendak Sang Pemberi Hidup. Yang perlu kita lakukan ialah mempersiapkan diri sebaik mungkin semasih berada dalam garis antrian. Targetnya ialah hidup kita memiliki makna sebagai persembahan kudus dan berkenan kepada Allah. Moga-moga, dengan upaya tersebut kita bisa melangkah dengan kepala tegak menemui Sang pemilik Hidup, ketika berada pada garis terdepan antrian.

Selamat Jalan Pak Arif.