Senin, 22 November 2010

MEWASPADAI PEMILIHAN CALON BUPATI NIAS BARAT

Oleh Yosafati Gulo

Pemilihan calon Bupati Nias Barat sudah di depan mata. Ada tiga pasangan calon yang sudah mendaftarkan diri di KPU, yaitu pasangan Faduhusi Daeli-Sinar Abdi Gulo, A.A. Gulo-Hermit Hia, Yupiter Gulo dan Raradodo Daeli.

Sama seperti Pilkada di daerah-daerah lain di Indonesia, dengan tampilnya ketiga pasangan itu sekaligus berakibat munculnya polarisasi kelompok pendukung dalam masyarakat. Entah itu berdasarkan latar belakang desa, hubungan kekerabatan/persaudaraan, keyakinan agama, maupun ideologi. Tiga aspek yang disebut terdahulu, merupakan perekat kelompok yang bisa saling tali menali dan saling menguatkan. Sementara aspek terakhir, ideologi, kelihatannya belum memberi pengaruh cukup kuat.

Rekatan karena aspek desa, hubungan keluarga, dan agama dapat spontan menguat. Mereka yang sedesa, ada hubungan keluarga, atau seagama dengan calon tampaknya mulai merapatkan diri. Selain untuk saling menguatkan, mengkosolidasikan diri, mereka juga berusaha mempengaruhi anggota kelompok lain. Sasaran utamanya mereka adalah anggota masyarakat yang dinilai tak ada faktor perekatnya dengan sang rival. Anggota masyarakat dalam kelompok ini dapat dikatakan merupakan wilayah rebutan para calon dan pendukungnya. Tiap pasangan calon dan pendukungnya pastilah berjuang menanamkan pengaruh guna mendapatkan dukungan dari anggota masyarakat tersebut.

Dalam politik, peristiwa semacam itu bukan barang terlarang, tabu. Sudah merupakan sebuah konsekuensi logis dari demokrasi yang perlu diterima secara wajar oleh siapa pun.

Pertanyaannya, aspek mana yang paling berpengaruh di antara ketiganya? Adakah aspek lain yang perlu diwaspadai sebagai penguat atau malah sebaliknya, sebagai perusak?
Faktor Desa dan Kekerabatan

Faktor desa dan kekerabatan nampaknya merupakan perekat cukup kuat di Nias Barat. Sementara faktor agama, menurut saya, bisa ya bisa tidak. Artinya kesamaan agama antara pemilih dengan calon tidak otomatis menjadi penentu pilihan. Kendati agamanya sama, jika tidak didukung faktor lain, termasuk desa asal dan hubungan kekerabatan, bukan tidak mungkin si pemilih justru memilih calon yang agamanya berbeda karena rekatan faktor desa dan kekerabatan. Bahkan faktor lain, katakanlah faktor X, bisa lebih kuat rekatannya daripada faktor agama (hal ini akan dibahas pada bagian akhir). Dikatakan demikian karena politisasi agama di kalangan calon pemilih, Nias Barat, tidak setajam di tempat lain yang agama antar pemilih lebih bervariasi seperti di Jawa dan Sumatera.

Dapat dikatakan bahwa sang calon yang sedesa atau memiliki hubungan persaudaraan dengan pendukung akan mendapatkan dukungan habis. Tanpa atau dengan alasan logis golongan ini cenderung memilih calon yang sedesa atau memiliki hubungan kekerabatan.
Tentu saja bisa diurai mengapa mereka menjatuhkan pilihan pada sang calon. Boleh jadi karena merasa bahwa sang calon pantas, patut, berkualifikasi, memiliki integritas pribadi tinggi, bertanggung jawab, dan jujur sehingga mereka matian-matian memperjuangkannya menjadi Bupati.

Bisa juga karena pertimbangan sedesa, saudara, atau adanya hubungan kekerabatan semata. Tanpa embel-embel lain atau pertimbangan logis-kritis tentang sang calon. Bahkan mereka tidak peduli bagaimana kerja sang calon kelak manakala sudah jadi Bupati. Apakah akan membawa perbaikan dan kemajuan Nias Barat, jalan di tempat, atau malah makin mundur, mereka tak peduli.

Bisa Merupakan Pilihan Tepat

Apakah ini salah? Tentu tidak. Ini bukan soal salah atau benar. Ini persoalan hak dan pilihan untuk menggunakan hak. Tentu tidak mudah mengatakan bahwa Bupati yang terpilih dengan cara ini buruk. Bisa saja merupakan pilihan tepat karena memiliki sejumlah keunggulan pribadi. Baik aspek wawasan, pengetahun, kepemimpinan, manejerial, maupun integritas pribadi yang melebihi calon lain. Karena itu, dalam kepemimpinannya kelak, yang bersangkutan bukan hanya mampu mengangkat harkat desa dan saudara-sudaranya menjadi lebih terhormat. Tapi, benar-benar membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Nias Barat secara adil.

Dan yang lebih penting ialah karena keunggulannya itu, ia berhasil memotong “lingkaran setan” korupsi yang sudah lama merasuki sendi-sendi kepemimpinan sebelumnya. Entah itu di Nias Barat, Nias pada umumnya, maupun di tempat lain di Indonesia. Selain itu, ia juga mampu meletakkan dasar-dasar pemerintahan Kabupaten Nias Barat di atas aturan hukum secara tegas atas bimbingan etika dan moral sehingga kepemimpinan selanjutnya menjadi lebih mudah dalam upaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan menuju masyarakat sejahtera-adil-makmur.

Yang jadi soal, adalah kalau yang terpilih justru yang sebaliknya. Mungkin karena kepribadiannya yang selfish, desa oriented, saudara oriented, dan sejumlah egoisme lainnya mengakibatkan kepemimpinannya terjerumus ke dalam pengulangan keburukan yang pernah terjadi. Mungkin pula karena sempitnya wawasan, pengetahuan, atau rendahnya kemampuan kepemimpinan dan manejerial mengakibatkan kepemimpinannya terjerumus pada pengambilan kebijakan tak terarah.

Lebih mengkuatirkan ialah Bupati semacam itu cenderung berputar-putar pada kepentingan dan kesenangan diri sendiri, desa sendiri, saudara sendiri, tanpa atau dengan sendikit memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat Nias Barat secara keseluruhan. Contoh-contoh pejabat seperti ini cukup banyak, untuk tidak menyebut seluruhnya, di Indonesia. Di antaranya ada puluhan yang sedang di penjara karena penyelewengan dan korupsi. Latar belakang mereka beragam. Terbanyak Bupati dan Walikota, menyusul Gubernur dan anggota DPRD dan DPR. (silahkan baca di sini: http://kasus-korupsi.com/).

Para pemilih tentu tidak mengharapkan hal tersebut terjadi kepada orang sedesa atau saudaranya. Sebab, apa artinya menikmati keceriaan sehari jika harus menerima imbalan penderitaan bertahun-tahun di penjara. Belum lagi sanksi sosial dan efek psikologi terhadap anak-anaknya, saudaranya, dan orang sedesanya secara turun-temurun.

Faktor X

Selain dua perekat yang disebutkan di muka, ada faktor lain yang juga memiliki daya rekat. Mungkin karena teman sekolah, rekan kerja, sesama anggota organisasi, pernah menerima bantuan dalam bentuk apa pun, pernah menyaksikan apa yang pernah dilakukan sebelumnya, atau faktor kekaguman atas keunggulan pada aspek tertentu, atau paling sedikit pernah mendengarkan dari orang lain tentang diri sang calon, dsb. Faktor-faktor ini bisa menjadi penentu pilihan terhadap calon. Ini artinya, sang calon yang memiliki banyak relasi, banyak keunggulan, dikenal, dapat merupakan modal untuk merebut hati para calon pemilih.

Daya rekat ini dapat setara dengan daya rekat faktor desa dan kekerabatan. Calon pemilih yang tidak mengenalnya sekalipun bisa saja memutuskan memilih calon tertentu apabila ada teman atau kenalan yang memberi informasi tentang sang calon. Terutama di daerah yang merupakan wilayah di luar faktor desa dan kekerabatan.

Tapi ada faktor lain yang sering tak terduga. Sebelumnya saya sebut sebagai faktor X. Sejak sistem Pemilu langsung, baik legislatif maupun eksekutif, diberlakukan di Inedonesia, pengaruh faktor X tersebut menempati posisi terdepan. Pengaruhnya bahkan sangat kuat dalam merebut hati para pemilih. Sekalipun antara pemilih dan calon tidak saling kenal sebelumnya, bahkan berseberangan sekalipun, namun karena faktor X ini hubungannya bisa tiba-tiba berubah jadi akrab seperti teman kental yang sudah bergaul bertahun-tahun. Itulah sebabnya orang sering bilang bahwa dalam politik, tidak ada kawan atau lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan. Manakala kepentingan bertemu, meskipun hanya sesaat, maka segalanya bisa berubah.

Masih ingat Ruhut Sitompul, bukan? Dulu ia aktivis gigih dari Partai Golkar. Sekarang? Tahu sendiri bagaimana ia mengelu-elukan pemimpin dan Partai Demokrat karena faktor X tersebut.

Faktor X ini bisa banyak rupa. Bisa sangat halus, tak kasat mata dan bisa juga fulgar. Secara halus, sering tampil dalam bentuk pemberian bantuan bagi desa, gereja, kegiatan sosial, dsb. Secara fulgar, biasanya berupa uang cash, atau berupa janji-janji jabatan, kesempatan berusaha, proyek, atau jaminan sosial tertentu. Mana yang lebih berpengaruh? Tentu tergantung sasaranya. Jika sasarannya orang desa, maka kecenderungan yang lebih berpengaruh adalah pemberian bantuan atau uang cash. Siapa yang bisa memberi banyak, peluangnya untuk dipilih lebih besar. Konon di Nias saat ini ada istilah: “yang sehari milikku, yang lima tahun milikmu. Aku tak peduli idealisme dan sejumlah jargon pembangunan. Kalau mau bayar, aku pilih, kalau tidak, ya, go to hell!”

Kalau sasarannya pegawai, pejabat, pengusaha, maka bantuk faktor X bisa tampil dalam bentuk janji-janji jabatan, kesempatan, atau proyek. Ini artinya, calon yang berani memberi janji sesuai kebutuhan sasaran, peluangnya untuk dipilih makin besar. Lebih-lebih karena sasaran tersebut umumnya memiliki pengaruh di kalangan masyarakat desa. Dengan kelincahan mereka berkata-kata, mereka dapat menambah keyakinan calon-calon pemilih untuk memilih sang calon. Dan ini, bisa menambah bargaining position mereka di depan calon, si pemberi janji.

Apakah ini Salah?

Jelas salah! Dari sisi apa pun, cara-cara meraih suara pemilih dengan faktor X tidak dapat dibenarkan. Bukan cuma melanggar hukum, etika, dan moral. Tapi efeknya ke depan pasti buruk. Baik bagi masyarakat maupun calon itu sendiri. Logikanya bukan lagi logika pelayanan kepada kepentingan masyarakat, sebagaimana seharusnya tugas seorang Bupati atau pejabat apa pun, tapi logika dagang, logika untung rugi.

Ini tentu bisa dimengerti. Karena calon yang mengeluarkan uang banyak ketika pemilihan, target utamanya adalah mencari pengganti. Lebih-lebih kalau uang yang dipakai itu adalah pinjaman atau “sumbangan” berpamrih. Itu artinya bahwa selama menjadi Bupati, isi hati dan pikirannya bisa amat jauh dari memikirkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Nias Barat, melainkan membayar utang dulu baru kemudian mencari untung.

Pertanyaannya, jika hal ini terjadi, adakah di antara kita yang diuntungkan? Untuk kepentingan sesaat, barangkali ada. Tapi untuk jangka panjang, tidak. Malahan ancaman keterpurukan bisa makin parah dan sang Bupati kelak, bukan tidak mengkin akan menyusul rekan-rekannya pejabat yang saat ini berada di balik teralis besi. Inikah yang kita mau? ***