Kamis, 25 Agustus 2011

SIBUK

Inilah kesan saya ketika menyempatkan diri mengamati tingkah orang-orang sekitar. Sekali tempo di pasar, kali lain di jalan raya, dan kali lain lagi menonton TV. Saya sempat tercenung. Berbagai pertanyaan menggoda muncul di benak saya. Mengapa orang-orang itu begitu sibuk? Apa sih yang mereka cari?

Hampir sepanjang hari dan tanpa henti. Waktu yang 24 jam sehari, sepertinya kurang. Ada yang terus bekerja sampai larut malam. Bahkan sampai pagi. Ada yang tujuannya sekedar memenuhi kebutuhan dasar. Tapi ada juga yang menumpuk cadangan untuk esok dan lusa.

Ada yang melakukannya atas kemauan sendiri. Ada juga yang terpaksa atau dipaksa. Mungkin oleh atasan atau yang bertindak sebagai atasan. Atasan itu mungkin orang lain, mungkin juga situasi. Namun, tak sedikit yang dipaksa oleh kesenangan sendiri
Setelah sedikit menenangkan diri, saya jadi sadar bahwa sibuknya mereka beda-beda. Sibuknya pengusaha, ternyata beda dengan politisi. Sibuknya DPR beda dengan TKW. Anas Urbaningrum beda dengan Muhamad Nazaruddin. Atau orang kaya, beda dengan orang miskin. Guru, beda dengan murid. Atau sibuknya Preasiden SBY, beda jauh dengan sibuknya seorang tukang sayur di pasar tradisional, dst., Silahkan identifikasi sendiri. Deskripsi berikut, sekadar contoh saja.

***

Pengusaha, biasanya, sibuk hitung untung dengan menekan upah buruh. Politisi sibuk menghitung kesempatan memertahankan posisi. Untuk itu ia juga sibuk membela buruh untuk menekan pengusaha. Tapi kalau pengusaha kasih duit, ia pakai itu duit untuk berbalik menekan buruh. Atau membeli “kepala” mereka saat pemilu atau pilkada. Dan, karena kebanyakan buruh lebih suka berpikir sejengkal, maka mereka setuju ketika “kepala” mereka cukup ditukar dengan uang 20 atau 50 ribu.

Pengusaha ternyata cerdik juga. Dengan memberi uang, mereka mendikte politisi. Ketika mengambil kebijakan, menyusun undang-undang, pengusaha menyodorkan konsep. Politisi merasa senang. Tanpa kerja keras, mereka bisa menghasilkan banyak hal. Menghasilkan kebijakan, udang-undang, tanpa perlu berlelah-lelah. Memang tidak hanya ketuk palu. Mereka juga rapat, membahas konsep yang ada. Bahkan mereka bisa berdebat sengit agar terkesan membela rakyat. Tapi itu terbatas di ruang sidang saja. Di luar kantor, tidak harus begitu. Yang lebih penting adalah daftar hadir. Entah di Panja, Komisi atau di tingkat Pleno. Makin lama dan sering rapat, berarti tanda tangan di daftar hadir juga banyak. Dan, ini sama dengan uang.

Bukan itu saja. Atas hasil rapat-rapat itu, pengusaha pun merasa berutang jasa. Mereka lantas menambah “insentif” bagi politisi. Tujuannya, tentu saja, agar kebijakan dan undang-undang tadi segera diterapkan. Ini penting bagi perlindungan usaha dari serangan buruh dan rakyat. Di antara buruh, ternyata ada satu dua yang kritis. Mereka tahu bahwa politisi dan pengusaha “pacaran”. Di depan publik, mereka seperti tak kenal, tapi di kamar tertutup ternyata mereka “bermesraan”.

Siklus serupa pun berulang secara periodik. Buruh marah, kemudian berdemonstrasi, bakar-bakar, dan rusak-rusak sana-sini. Politisi kembali bergegas tampil “membela” buruh dan menggertak pengusaha. Karena merasa terancam, pengusaha minta perlindungan. Lalu polisi tampil menjamin rasa aman. Tentu dengan imbalan. Setelah itu, banyak pihak kembali duduk memformulasi solusi. Mungkin dengan aturan baru atau mungkin dengan membujuk buruh. Demikian seterusnya.

Namun, semua itu tak perlu dianggap serius. Politisi, pejabat, polisi, dan pengusaha jarang yang sungguh-sungguh mengurusi nasib buruh dan rakyat. Urusan mereka bukan itu. Mereka hanya butuh tambahan isi pundi-pundi dan kelanggengan posisi. Buruh dan rakyat sebetulnya juga demikian. Cuma, bentuknya beda. Yang ditumpuk buruh dan kebanyakan rakyat bukan isi pundi-pundi. Tapi penderitaan dan kelanggengan hidup miskin.

***

Di jalan raya, lebih kentara lagi. Semuanya tampak tergesa-gesa. Semuanya ingin cepat. Sepeda motor meliuk-liuk di sela-sela mobil. Bus, truk gandeng, tronton, tangki BBM, dan mobil-mobil pribadi saling mendahului. Rambu lalu lintas hanya berfungsi kalau ada polisi. Terobos sana, terobos sini. Sodok jalur kiri atau kanan tanpa lampu sein. Belok kiri atau kanan suka-suka. Semuanya terkesan begitu menghargai waktu. Ingin lebih dahulu sampai. Walaupun hanya sedetik. Tidak disadari, atau disadari namun tak peduli bahwa malaikat maut terus tersenyum, siap menjemput. Sepertinya ogah diingat bahwa anak-istri atau ayah-ibu di rumah, belum siap menerima ajakan malaikat maut.

Para pejalan kaki dan pengendara sepeda sebetulnya juga ingin cepat. Hanya saja mereka kalah cepat. Ayunan kaki tak sebanding dengan mesin. Mau tak mau mereka harus rela didahului. Juga rela menghirup asap knalpot dan debu yang muncrat di belakang sepeda motor dan mobil. Tak ada alternatif kecuali meminggir kalau tidak mau dilindas kendaraan bermesin.

Di kota, pejalan kaki memang masih untung. Mereka bisa berjalan di atas trotoar. Tapi tidak demikian di jalan-jalan antar kota, antar provinsi. Hak pejalan kaki dan pengendara sepeda di jalur itu, dirampas habis. Kalau mau selamat, mereka harus rela keluar dari bahu jalan. Sebab, hukum yang berlaku di situ, bukan aturan normal ala undang-undang lalu lintas. Tapi hukum rimba ala aturan binatang buas. Siapa kuat dialah yang berkuasa. Makin besar kendaraan makin besarlah kuasanya.

Polisi lalu lintas tak berfungsi di situ. Mereka hanya berfungsi menilang atau menjebak mobil-mobil pribadi. Yang satu ini harus diurus teliti. Sebab, satu pelanggaran berarti 50 ribu rupiah. Bus dan truk boleh meliuk-liuk melanggar marka jalan. Termasuk merampas jalur kendaraan lain dari arah berlawanan. Itu tidak mereka urus. Itu urusan atasan yang lebih atas kata teman saya. Mereka hanya mau bergegas kalau ada tabrakan dan korban.

***

Aneh bin membingungkan. Sampai di tujuan, sikap orang-orang tadi terbalik. Tadinya terburu-buru, sekarang malah santai. Di kantor, tidak langsung bekerja. Malah ngobrol menebar gosip. Gosip tentang atasan, teman, atau tetangga. Omong tentang Nazaruddin, Anas Urbaningrum, atau SBY. Ada yang asal memecah keheningan. Tapi, tak sedikit yang tampak sangat serius seperti DPR ketika membahas kasus Bank Century. Yang lain, ada yang menyambar koran, mengisi TTS, atau main catur. Tapi ada juga yang terus bengong di depan meja kerja karena masih menunggu perintah atasan. Ketika ada rakyat yang berurusan, dengan enteng si penjaga pintu kantor berkata, “Bos masih sibuk. Datang besok saja.”

Kalau ia pelajar atau mahasiswa memang tak kentara. Ia bisa langsung masuk kelas dan duduk tenang menghadap guru atau dosen. Tapi arah pikiran dan hatinya, tidak di situ. Soalnya, tadi malam ia tidur larut karena menelusur dunia maya. Berjam-jam ia mengunjungi banyak tempat. Ada yang berkenjung di web surat kabar, blog, atau tulisan-tulisan yang memberinya pelajaran berpikir dan bersikap normal. Tapi banyak yang berkunjung ke tempat lain untuk memuaskan hasrat manusiawi terendah. Ada yang nyasar, tapi ada juga yang sengaja. Itu sebabnya di dalam kelas badannya hadir tapi pikiran dan hatinya alpa.

Siang atau sore hari terjadi arus baik. Semuanya pulang ke rumah. Juga dengan tergesa-gesa. Ada yang langsung pulang. Tapi banyak yang mampir di restaurant atau di tempat pemuas hasrat. Ada yang melanjutkan diskusi tentang kerja yang tadi siang belum dikerjakan. Ada yang menghilangkan rasa penat karena rahangnya nyaris cedera terlalu lama ngobrol menebar gosip. Hari pun berganti malam, kemudian berganti pagi. Kisah serupa terulang kembali. Semua sibuk, sibuk, dan sibuk. ***

Rabu, 10 Agustus 2011

ORANG - ORANG SAKIT

Tanggal 2 Agustus 2011, ada berita bakar-bakar lagi. Tapi ini bukan bakar rumput
atau sampah. Tapi bakar gedung gereja. Ini terjadi di Logas Tanah Darat, Kabupaten Kuantan Sengenge Riau. Yang dibakar kali ini adalah Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yang dilakukan sekelompok massa --entah dari mana-- menjelang tengah malam sehari sebelumnya. Diberitakan, ada sekitar 100 orang yang datang ke gereja GBKP sempat mengancam jemaat dengan menggunakan pisau sebelum menyiram bensin ke gedung gereja lalu menyulutnya dengan api. Ada kemungkinan juga bahwa massa itu pulalah yang membakar gedung gereja Pantekosta yang jaraknya kira-kira 5 km dari GBKP. Berita selengkapnya dapat dibaca di sini.


Bingung

Membaca berita tersebut, saya sendiri jadi bingung. Mengapa ada orang yang suka bakar-bakar gedung gereja? Mengapa tidak bakar kayu bakar saja di dapur untuk memasak. Itu lebih penting buat keluarga sendiri dan tidak menyusahkan orang lain. Kalau belum puas juga bolehlah bakar sampah di tempat pembuangan sampah. Ini lebih perlu bagi orang banyak. Tidak ada yang disusahkan.

Kalau hobinya bakar-bakar, mestinya hobi itu disalurkan jadi usaha. Misalnya saja usaha ayam bakar, ikan bakar, jagung bakar, dst. Ini mendatangkan uang buat menyejahterakan keluarga sekaligus memuaskan pelanggan. Tapi jangan batu bakar atau pisau bakar. Juga jangan gedung gereja bakar. Itu bukan makanan. Memaksa diri membakar gedung gereja, saya jamin tidak mendatangkan manfaat apa-apa. Ayah-ibu sendiri tidak bakalan tambah sehat atau tambah bijak. Mereka malah bisa batuk-batuk, sesak nafas, dan akhirnya jatuh sakit karena menghirup asap gedung gereja.

Saya berani taruhan bahwa para pembakar gedung itu, teman-teman sesama manusia, tak mendapatkan apa-apa. Tambah pintar? Tidak. Tambah penghasilan ? Juga tidak. Paling banter, yang didapatkan secara langsung adalah rasa was-was, lelah, rasa takut ketahuan, dst. Oh ya, mungkin juga ada juga yang didapatkan, yaitu rasa puas karena berhasil menyusahkan orang lain. Pertanyaan saya, apakah ini yang diajarkan dalam agama anutannya? Inikah pendidikan orang tua dan sekolah mereka sebelumnya? Saya sendiri tidak tahu. Ada pembaca yang bisa bercerita tentang ini?

Perlu Dikasihani

Pertanyaan saya selanjutnya ialah apa sebenarnya yang tidak disukai oleh teman-teman sesama manusia itu? Apakah gedung gerejanya, ataukah ajaran Kristennya, ataukah orang yang percaya kepada Kristus? Kalau gedung gereja, rasanya tak beralasan. Karena gedung adalah benda mati. Tidak pernah mengganggu siapa pun, termasuk teman-teman kita yang membakar gedung gereja itu.

Kalau ajaran Kristen, mestinya juga tidak mengganggu. Ajaran Kristen adalah benda mati. Ia tidak merampok atau membunuh. Ia diam saja dalam buku-buku dan hati. Kalau ia terasa hidup, bukan karena dirinya sendiri. Tapi karena ia dipakai untuk memperbaiki kelakuan, hati, dan pikiran. Ia diberitakan kepada yang mau. Terutama orang yang percaya kepada Kristus dan orang lain yang berkenan mendengarkan. Sebagai berita, ajaran Kristen tidak pernah memaksa. Apalagi memerkosa. Ia tidak otoriter. Ia sangat toleran bahkan memberi kebebasan sebebas-bebasnya bagi pendengar. Mau percaya dan anut, boleh. Mau menolak percaya juga oke!

Sikap ini memang sudah dipesan Tuhan kepada kita semua yang ada di bumi ini melalui contoh perilaku-Nya sendiri. Tuhan tidak otoriter. Ia tak pernah memaksa siapa pun untuk percaya kepada-Nya. Memaki-maki Tuhan —kalau mau— Ia tak ambil pusing. Silahkan saja. Dia toh berkata, apa yang ditabur orang, itu pula yang dituainya.
Kalau ada orang non Kristen yang tergerak, merasa terpanggil dan percaya kepada Kristus setelah mendengarkan ajaran Kristen, itu bukan salahnya gedung gereja. Bukan salah yang mendengarkan atau yang menyampaikan ajaran Kristen. Dan memang tidak ada kesalahan di situ. Barang siapa yang bertelinga, hendaklah ia mendengar, karena telinga memang alat yang tepat untuk mendengar. Tapi kalau telinga hanya dipajang sebagai hiasan kepala, atau dipakai untuk mencium, dan mata dipakai untuk mendengar, ya, sampai mati juga tidak pernah bisa.

Menurut saya justru merekalah yang benar. Mereka telah menggunakan telinga yang memang diberikan Tuhan khusus untuk mendengar. Ini perlu ditiru. Ketertarikan mereka pada ajaran Kristen, semestinya dilihat sebagai sebuah tantangan bagi ajaran agama asal mereka. Dijadikan alat untuk evaluasi diri dan evaluasi ajaran. Mereka mungkin bosan atau takut menyaksikan kerajinan teman-teman seagamanya bakar-bakar, bunuh-bunuh. Itulah sebabnya mereka berpaling muka dari agama anutan sebelumnya, kemudian menjadi gemar mendengarkan ajaran Kristen yang mengedepankan kasih, tanpa bakar-bakar, dan bunuh-bunuh sesama.

Kalau disebabkan oleh perilaku orang yang pecaya Kristus (orang Kristen), misalnya mereka mengganggu ketertiban teman-teman sesama manusia itu, atau komunitas mereka, dst., itu juga tidak bisa disamakan dengan gedung gereja. Gedung gereja tidak salah. Maka ia tak perlu dibakar. Semestinya pribadi-pribadi yang mengganggu itu sajalah yang perlu disoal. Tapi tidak harus dibakar atau ditusuk pakai belati. Sebagai orang normal di atas bumi yang punya ketentuan hukum, ya, tuntut pakai jalur hukum saja. Membakar gedung gereja karena tindakan seseorang yang beragama Kristen dianggap mengganggu orang non Kristen, adalah keliru. Sama halnya mengebom kota Jakarta hanya karena ada koruptor di situ. Atau membakar Mesjid hanya karena beberapa orang Muslim berbuat tak senonoh. Atau membakar rumah sendiri hanya karena tindakan ayah ibu sendiri tidak sesuai keinginan.


Saya berpendapat bahwa teman-teman sesama manusia itu, tidaklah memiliki alasan pembenaran apa pun untuk membakar gedung gereja. Dari sisi ajaran agama mereka, rasanya tidak ada. Juga dari sisi pendidikan sekolah dan keluarga mereka. Oleh karena itu, tidak ada kata yang pantas dipakai untuk menyebut mereka, yang suka bakar-bakar, selain mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang sakit yang perlu diobati, dikasihani, didoakan. Bukan dijauhi atau dimusuhi. Saya harap, pembaca berkenan turut menundukkan kepala dan berdoa untuk mereka.

Tapi itu, tentu belum cukup. Kita perlu minta bantuan penegak hukum agar penyakit mereka segera dicegah agar tidak makin menjalar. Tidak terus mengganggu ketenangan sesama manusia lain di luar kelompoknya di atas bumi Indonesia. Jika penegak hukum terus lalai, saya kuatir bahwa pada saat tertentu, mudah saja bagi setiap orang membantai sesama manusia atau bakar-bakar rumah penduduk, karena alasan yang bisa dikarang-karang. Dan ini bisa mengancam eksistensi kita sebagai bangsa dan sebagai manusia. Bukan tidak mungkin ada bangsa lain yang berkata bahwa bangsa kita tak lebih dari sebuah kawanan dengan sebutan manusia yang belum jadi manusia, tapi masih seperti manusia. Tentu saja kita tidak suka sebutan itu, bukan? ***