Oleh Yosafati Gulo
Makin tingginya
gairah lulusan SMA-SMK di kepulauan Nias untuk kuliah pada pergurun tinggi (PT)
tiap tahun tentu bagus. Merupakan indikasi kian tingginya kesadaran masyarakat Nias tentang pentingnya
peran pendidikan dalam meningkatkan kualitas hidup. Banyak siswa belum puas
bila hanya lulus SMA atau SMK. Orang tua juga begitu. Mereka berusaha keras
agar si buah hati bisa sekolah di PT dan meraih gelar sarjana.
Dengan
berbagai pertimbangan, para lulusan SMA-SMK yang jumlahnya lebih dua ribuan tiap
tahun, hanyalah ratusan yang bisa masuk PT bermutu di Sumatera atau di Jawa.
Ribuan di antaranya tinggal di Nias. Sementara IKIP Gunungsitoli, STIE
Pembangunan dan beberapa PTS lain yang berijin tak mampu menampung lulusan
SMA-SMK tersebut.
Keadaan
itu menarik minat banyak PTS dari luar Nias untuk membuka program studi yang
dinilai prospektif. Beberapa di antaranya ialah Sekolah Tinggi Teknik (STT)
Poliprofesi, Politeknik Poliprofesi, Akademik Manajemen dan Teknik Informatika
(Amik) Universal, STT Universal, dan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan
Komputer (STMIK) Apignosis (NBC,9/9/2011).
Niat
Baik
Katakanlah
para lulusan SMA-SMK itu ingin belajar di program studi tertentu karena
dorongan meningkatkan kualitas diri. Katakan pula bahwa PTS yang membuka
program studi tersebut memiliki niat baik untuk berpartisipasi mencerdaskan
anak-anak bangsa di Nias. Lalu dengan niat baik itu, kendati belum punya gedung
sendiri, dan dosen berkualifikasi secara memadai mereka “mengabdikan diri”
untuk bersusah-susah meninggalkan kenyamannya di Medan.
Namun dengan
sedikit mengintip berbagai ketentuan penyelenggaraan pendidikan di PT, kita
perlu bertanya apakah niat baik dari para pihak itu sudah cukup? Apakah niat
baik itu kelak akan berakhir dengan kebahagiaan bagi para pihak (lulusan dan
PTS penyelenggara)? Atau jangan-jangan sebaliknya, berujung pada penyesalan?
Untuk
menjawab soal-soal itu, mari kita soroti dari sisi ketentuan hukum yang berlaku
di PT di Negara RI. Sebut misalnya beberapa ketentuan dalam PP No 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan jo PP 66 Tahun 2010 tentang perubahan
PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan,
kemudian PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Permendikbud
No 20 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Program Studi di Luar Domisili PT.
Dalam
Peraturan di atas, ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi oleh sebuah PTS
yang hendak menyelenggarakan pendidikan tinggi di luar domisili (kampus
induknya). Pasal 89 PP No 17 membolehkan PT membuka program studi di luar
domisili. Tapi ini tidak boleh suka-suka atau berdasarkan niat baik saja. Pasal
2 dan 3 Permendikbud No 20 Tahun 2011
telah menetapkan sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi.
Beberapa
hal perlu disebutkan di sini. Pasal 2 ayat (1) menyasaratkan adanya
akuntabilitas publik perguruan tinggi dengan mutu setara dengan program studi
yang sama di domisili perguruan tinggi tersebut. Ayat (2) menekankan kemampuan
dan komitmen perguruan tinggi untuk mempertanggungjawabkan kegiatan tridharma
perguruan tinggi kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ayat (3) menekankan perbandingan ratio dosen-mahasiswa,
kapasistas sarana-prasarana, larangan komersialisasi, laporan keuangan yang
transparan dan diaudit oleh akuntan publik, dst.
Pada
Pasal 3 ketentuannya lebih rinci lagi. Ada 17 butir ketentuan yang harus
dipenuhi oleh PTS. Di antaranya, harus ada ijin Dikti dan telah dicantumkan di
dalam Rencana Strategis 5 (lima) tahun perguruan tinggi penyelenggara, didukung
oleh Pemerintah Daerah, jumlah dosen berkualifikasi S2 minimal 6 (enam) orang,
kurikulumnya sama dengan di kampus induk, status akreditasi Program Studi
penyelenggara harus A, memiliki kampus sendiri baik milik sendiri maupun sewa
selama minimal lima tahun dengan ukuran rata-rata 2m2 ruang belajar
per mahasiswa dan ruangan dosen 4 m2 perorang, dan seterusnya.
Dengan
ketatnya ketentuan tersebut, maka Universitas Negeri terbaik di tanah air pun
tidak banyak yang membuka program studi di luar domisilinya. Mereka sadar bahwa
pembukaan program studi di luar domisili sama halnya mendirikan perguruan
tinggi baru dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi.
Resiko
Bagi Lulusan
Herannya,
beberapa PTS yang disebutkan di muka cukup berani menyelenggarakan program
studi di Nias. Dibandingkan dengan USU Medan, Unimed, atau UI, ITB, UGM dan
seterusnya, status akreditasi PTS-PTS tersebut agaknya tidaklah sebaik PTN di
atas. Data PTS Wilayah I Medan yang bersumber dari Dirjen Dikti, Badan
Akreditasi Nasional PT (http://www.pts.co.id), menyebutkan dari lima program
studi yang diselenggarakan Politeknik Poliprofesi (Teknik Informatika, Teknik
Komputer, Manajemen Informatika, Akuntansi, dan Bahasa Inggris), hanya Program
Studi Bahasa Inggris berakreditasi B, Teknik Komputer belum terakreditasi,
sementara lainnya hanya C.
Bagaimana
dengan STT Poliprofesi? Ternyata sama saja. Tiga program studi STT Poliprofesi
di Medan (Teknik Elektro,Teknik Industri, dan Teknik Informatika), hanya Teknik
Informatika yang berakreditasi C. Dua lainnya belum terakreditasi. Teknik AMIK Universal, juga demikian. Dua
program studi (Teknik Informatika dan Manajemen Informatika) AMIK hanya terakreditasi
C. Dan, yang lebih merisaukan ialah dua PTS lain yang beroperasi di Nias : STT
Universal dan STIMIK Apignosis tidak tercatat di data Dikti.
Pertanyaannya,
apa resiko kalau para mahasiswa nekat sekolah di PTS tersebut? Apakah
kesepakatan dengan mahasiswa seperti yang dibuat oleh Yayasan Poliprofesi bisa
memberikan jaminan? Menurut Pasal 86 ayat (1), (2), (3), Pasal 87 ayat (2)
serta Pasal 94 huruf b PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
kesepakatan tersebut tidak memiliki nilai apa-apa. Yang penting baginya ialah
keharusan akreditasi. Dan karena program studi itu di luar domisili, maka
akreditasi yang dituntut haruslah A.
apakah para mahasiswa di PTS tersebut hanya sekedar sekolah untuk sebuah gelar? Ataukah ada niat mengunakan ijazahnya kelak untuk mendapatkan efek sipil dalam mencari kerja?
Kalau
nekat, tentu saja PTS bisa mengeluarkan ijazah bagi lulusannya. Tapi ini bukan
tanpa resiko. Dirjen Dikti telah menegaskan melalui surat edarannya kepada
seluruh PTN-PTS No 2428/D/T/2008 dan surat Badan Kepegawaian Negara No K
26-30/V 97-8/57 tahun 2004 yang menegaskan dua hal. Pertama, ijin menyelengarakan
program studi dari Dikti merupakan pengakuan sahnya program studi. Kedua,
lulusan dari program studi yang tak terakreditasi tidak memiliki efek sipil
(sah) dari ijazah yang diperoleh. Ini artinya bahwa sekalipun mahasiswa lulus
dengan cumlaude dari sebuah PTS tak terakreditasi, ijazahnya tidak diakui oleh
Dikti dan Badan Kepegawaian Negara.
PTS yang
nekat melangar ketentuan tersebut, tentu memiliki sanksinya sendiri dari Dikti.
Bisa berupa pencabutan ijin operasional, dihentikannya berbagai bantuan, sampai
pada penutupan bila tetap bandel.
Pertanyaan
saya, apakah para mahasiswa di PTS tersebut hanya sekedar sekolah untuk sebuah
gelar? Ataukah ada niat mengunakan ijazahnya kelak untuk mendapatkan efek sipil
dalam mencari kerja? ***