Rabu, 20 Juni 2012

Identitas Agama Dalam KTP Memeranakan Minoritas


Oleh Yosafati Gulo



Diskusi tentang perlu-tidaknya identitas agama dicantumkan dalam KTP sempat ramai beberapa waktu lalu, kemudian reda. Dengan diturunkannya tulisan Taryadi Sum berjudul “Menyoal Pencantuman Agama pada KTP” di Kompasiana edisi 16 Juni 2012, diskusi itu kembali bersemangat. Saya sendiri sempat memberi dua-tiga komentar. Namun, setelah membaca komentar-komentar terakhir, saya tergoda untuk kembali memberikan komentar. Supaya lebih praktis, saya menulisnya tersendiri.

Ada tiga kelompok besar sikap tentang itu. Pertama, ada yang setuju bahkan merasa harus mencatumkan identitas agama dalam KTP. Taryadi Sum, termasuk dalam kelompok ini. Kedua, ada yang menilai tak perlu. Selebihnya adalah mereka yang mengambil posisi boleh ini boleh itu. Dicantumkan oke, tidak dicantumkan juga oke. Sebetulnya masih ada yang lain, tapi mereka ini hanya sekadar ngomong yang tak jelas atau lepas dari konteks.

Disamakan dengan Agama

Yang setuju, selalu mengaitkan KTP dengan agama tertentu. Bagi mereka, pencatuman agama dalam KTP sangat urgen. Seolah-olah disamakan dengan kepenganutan agama. Oleh sebab itu identitas agama bagi mereka harus ditulis dalam KTP. Apalagi karena  Identitas tersebut juga perlu dalam pernikahan, mengenali mayat akibat pembunuhan, tabrak lari, atau untuk upacara keagamaan bagi yang meninggal normal. 

Taryadi mencontohkan betapa sulitnya penguburan seorang pria Autralia ketika meninggal. Namanya Charles. Formalnya pria itu mengaku tak beragama, tetapi orangnya baik hati. Ia selalu menolong orang susah di daerah tempat tinggalnya. Antara lain, dengan menderma obat-obat kepada penduduk yang butuh bantuan di Cisaat, Sukabumi. Dengan pertimbangan kebaikannya itulah maka mayat Charles tidak ditelantarkan. Ia dikuburkan walaupun tanpa upacara keagamaan. Namun, kejadian tersebut, begitu membekas dalam nurani Taryadi. Mestinya Charles diupacarai sebagaimana kebiasaan dalam agama-agama yang ada, tulisnya. Dari kejadian itu, Taryadi akhirnya bersikukuh bahwa pencatuman agama dalam KTP perlu.   

Merespon sebuah komen, Taryadi bilang,  “Logika saya sederhana, jika orang memang beragama dan mengakui agamanya, masak mencantumkan di KTP saja tidak rela? Apalagi untuk berjuang demi agamanya”. Lagi pula, tulis Taryadi, hal tersebut diperlukan untuk mengidentifikasi dan menangani korban pada kasus pembunuhan, tabrak lari. Sebab dalam agama Islam, menguburkan mayat adalah Fardu Kifayah, jika tidak dikubur semua orang disekitarnya berdosa, tulisnya.

Disalahgunakan

Argumen dari kubu sebaliknya adalah adanya kenyataan sering disalahgunakannya identitas seseorang dalam kehidupan bersama. Radix Wp Ver2 bilang, bahwa pencatuman agama dalam KTP adalah siasat rejim ORBA dulu untuk melumpuhkan lawan-lawan politik mereka. Pada pendiri bangsa sendiri, termasuk Sukarno, pencetus Pancasila, tidak menghendaki dicantumkannya agama dalam KTP.

Menurut kelompok ini, urusan agama adalah urusan pribadi manusia dengan Tuhannya. Tak perlu dipublikasi kepada umum. Bagi orang mati tulisan agama di KTP juga tak perlu. Ini merupakan kepentingan orang hidup. Kalau memang keterangan agama diperlukan saat menikah, tentu saja data dalam Kartu Keluarga dapat dipakai. Kalau keperluannya untuk mengidentifikasi yang meninggal akibat pembunuhan atau tabrak lari, nampaknya tidak harus KPT. Boleh jadi KTP-nya malahan sudah hilang, dibuang, atau dihancurkan si pembunuh. Tapi itu toh bisa ditelusuri melalui sidik jari dan pemeriksaan DNA. Bila meninggalnya secara normal, toh ada keluarga, kerabat, tetangganya yang tahu apa agamanya dan upacara keagamaan apa yang sesuai.

Bila dimaksudkan untuk kepentingan sendiri, pencatuman agama dalam KTP malah aneh. Setiap orang kan sudah tahu agamanya. Untuk apa ditulis? Supaya orang lain tahu? Untuk apa? Jika dimaksudkan untuk kepentingan pemerintah, malahan makin aneh. Sebab pemerintah sendiri yang mendata penduduk. Data tentang berbagai aspek penduduk ada di tangan pemerintah, bukan? Tambahan pula di tiap KTP sudah ada NIK (Nomor Induk Kependudukan) yang merupakan penanda dasar tiap individu. Lebih kuat lagi karena sudah dilengkapi dengan sidik jari. Mustahil data diri dipalsukan atau digantikan dengan yang lain.

Bukannya Membangun

Dari pengalaman diketahui bahwa pencatuman agama dalam KTP bukannya membangun hidup damai antar sesama. Ia malah membakar semangat permusuhan dan perpecahan. Dalam berbagai pertikaian horizontal di berbagai tempat beberapa waktu lalu, telah membuktikan hal tersebut. Pertikain yang semua hanya salah paham, malah dimekarkan menjadi pertikaian antar penganut agama gara-gara tulisan agama dalam KTP. 

Yang satu mengelompokkan diri dengan orang yang seagama dengannya. Yang lain pun demikian. Lantas saling sweeping, sehingga kalau ketahuan dari golongan yang dianggap lawan dengan enteng ditusuk atau lehernya dipenggal seperti yang terjadi di Ambon atau Poso beberapa tahun lalu. Kita tentu tidak mau hal itu terulang, bukan? Sebab orang yang beragama seharusnya menyelamatkan kehidupan, bukan mengenyahkannya, sekalipun itu bukan dari golongan agamanya. Kita seharusnya malu kepada Charles, karena ia tidak beragama tetapi ia menyelamatkan kehidupan orang-orang beragama, sementara orang-orang beragama malahan saling menghancurkan kehidupan sesamanya.

 Kitaseharusnya malu kepada Charles, karena ia tidak beragama tetapi ia menyelamatkan kehidupan orang-orang beragama, sementara orang-orang beragama malahan saling menghancurkan kehidupan sesamanya

Sebetulnya hal tersebut tak perlu terjadi kalau pemerintah dan penegak hukum, utamanya polisi, netral dan dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum. Namun dari berbagai kasus nampak bahwa para pejabat yang hidup dan menghidupkan keluarganya dari uang rakyat itu lebih sering memihak. Parah lagi, pemihakan tersebut cenderung membiarkan, bahkan seolah memfasilitasi kekerasan yang dilakukan pihak-pihak tertentu kepada sesama warga negara. Akibatnya, yang selalu jadi korban adalah warga negara yang tergolong minoritas. Oleh sebab itu, pencatuman agama dalam KTP sama halnya memeranakan golongan minoritas secara terus-menerus.

Inikah yang kita mau? ***