Oleh Yosafati Gulo
Diskusi tentang perlu-tidaknya identitas agama dicantumkan dalam KTP sempat ramai beberapa waktu lalu, kemudian reda. Dengan diturunkannya tulisan Taryadi Sum berjudul “Menyoal Pencantuman Agama pada KTP” di Kompasiana edisi 16 Juni 2012, diskusi itu kembali bersemangat. Saya sendiri sempat memberi dua-tiga komentar. Namun, setelah membaca komentar-komentar terakhir, saya tergoda untuk kembali memberikan komentar. Supaya lebih praktis, saya menulisnya tersendiri.
Ada tiga kelompok besar sikap
tentang itu. Pertama, ada yang setuju bahkan merasa harus mencatumkan identitas
agama dalam KTP. Taryadi Sum, termasuk dalam kelompok ini. Kedua, ada yang
menilai tak perlu. Selebihnya adalah mereka yang mengambil posisi boleh ini
boleh itu. Dicantumkan oke, tidak dicantumkan juga oke. Sebetulnya masih ada
yang lain, tapi mereka ini hanya sekadar ngomong yang tak jelas atau lepas dari
konteks.
Disamakan dengan Agama
Yang setuju, selalu mengaitkan KTP
dengan agama tertentu. Bagi mereka, pencatuman agama dalam KTP sangat urgen. Seolah-olah
disamakan dengan kepenganutan agama. Oleh sebab itu identitas agama bagi mereka
harus ditulis dalam KTP. Apalagi karena Identitas tersebut juga perlu dalam pernikahan,
mengenali mayat akibat pembunuhan, tabrak lari, atau untuk upacara keagamaan bagi
yang meninggal normal.
Taryadi mencontohkan betapa sulitnya
penguburan seorang pria Autralia ketika meninggal. Namanya Charles. Formalnya pria itu mengaku tak beragama, tetapi orangnya baik
hati. Ia selalu menolong orang susah di daerah tempat tinggalnya. Antara lain,
dengan menderma obat-obat kepada penduduk yang butuh bantuan di Cisaat,
Sukabumi. Dengan pertimbangan kebaikannya itulah maka mayat Charles tidak
ditelantarkan. Ia dikuburkan walaupun tanpa upacara keagamaan. Namun, kejadian
tersebut, begitu membekas dalam nurani Taryadi. Mestinya Charles diupacarai
sebagaimana kebiasaan dalam agama-agama yang ada, tulisnya. Dari kejadian itu, Taryadi
akhirnya bersikukuh bahwa pencatuman agama dalam KTP perlu.
Merespon sebuah komen, Taryadi
bilang, “Logika saya
sederhana, jika orang memang beragama dan mengakui agamanya, masak mencantumkan
di KTP saja tidak rela? Apalagi untuk berjuang demi agamanya”. Lagi pula, tulis
Taryadi, hal tersebut diperlukan untuk mengidentifikasi dan menangani korban
pada kasus pembunuhan, tabrak lari. Sebab dalam agama Islam, menguburkan mayat
adalah Fardu Kifayah, jika tidak
dikubur semua orang disekitarnya berdosa, tulisnya.
Disalahgunakan
Argumen dari kubu
sebaliknya adalah adanya kenyataan sering disalahgunakannya identitas seseorang
dalam kehidupan bersama. Radix Wp Ver2 bilang, bahwa pencatuman
agama dalam KTP adalah siasat rejim ORBA dulu untuk melumpuhkan lawan-lawan politik
mereka. Pada pendiri bangsa sendiri, termasuk Sukarno, pencetus Pancasila,
tidak menghendaki dicantumkannya agama dalam KTP.
Menurut kelompok
ini, urusan agama adalah urusan pribadi manusia dengan Tuhannya. Tak perlu
dipublikasi kepada umum. Bagi orang mati tulisan agama di KTP juga tak perlu.
Ini merupakan kepentingan orang hidup. Kalau memang keterangan agama diperlukan
saat menikah, tentu saja data dalam Kartu Keluarga dapat dipakai. Kalau
keperluannya untuk mengidentifikasi yang meninggal akibat pembunuhan atau
tabrak lari, nampaknya tidak harus KPT. Boleh jadi KTP-nya malahan sudah
hilang, dibuang, atau dihancurkan si pembunuh. Tapi itu toh bisa ditelusuri
melalui sidik jari dan pemeriksaan DNA. Bila meninggalnya secara normal, toh
ada keluarga, kerabat, tetangganya yang tahu apa agamanya dan upacara keagamaan
apa yang sesuai.
Bila dimaksudkan
untuk kepentingan sendiri, pencatuman agama dalam KTP malah aneh. Setiap orang kan
sudah tahu agamanya. Untuk apa ditulis? Supaya orang lain tahu? Untuk apa? Jika
dimaksudkan untuk kepentingan pemerintah, malahan makin aneh. Sebab pemerintah
sendiri yang mendata penduduk. Data tentang berbagai aspek penduduk ada di
tangan pemerintah, bukan? Tambahan pula di tiap KTP sudah ada NIK (Nomor Induk
Kependudukan) yang merupakan penanda dasar tiap individu. Lebih kuat lagi
karena sudah dilengkapi dengan sidik jari. Mustahil data diri dipalsukan atau
digantikan dengan yang lain.
Bukannya
Membangun
Dari pengalaman
diketahui bahwa pencatuman agama dalam KTP bukannya membangun hidup damai antar
sesama. Ia malah membakar semangat permusuhan dan perpecahan. Dalam berbagai pertikaian
horizontal di berbagai tempat beberapa waktu lalu, telah membuktikan hal tersebut.
Pertikain yang semua hanya salah paham, malah dimekarkan menjadi pertikaian
antar penganut agama gara-gara tulisan agama dalam KTP.
Yang satu
mengelompokkan diri dengan orang yang seagama dengannya. Yang lain pun
demikian. Lantas saling sweeping, sehingga kalau ketahuan dari golongan yang
dianggap lawan dengan enteng ditusuk atau lehernya dipenggal seperti yang
terjadi di Ambon atau Poso beberapa tahun lalu. Kita tentu tidak mau hal itu
terulang, bukan? Sebab orang yang beragama seharusnya menyelamatkan kehidupan, bukan
mengenyahkannya, sekalipun itu bukan dari golongan agamanya. Kita seharusnya
malu kepada Charles, karena ia tidak beragama tetapi ia menyelamatkan kehidupan
orang-orang beragama, sementara orang-orang beragama malahan saling
menghancurkan kehidupan sesamanya.
Kitaseharusnya malu kepada Charles, karena ia tidak beragama tetapi ia menyelamatkan kehidupan orang-orang beragama, sementara orang-orang beragama malahan saling menghancurkan kehidupan sesamanya
Sebetulnya hal tersebut
tak perlu terjadi kalau pemerintah dan penegak hukum, utamanya polisi, netral
dan dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum. Namun dari
berbagai kasus nampak bahwa para pejabat yang hidup dan menghidupkan keluarganya
dari uang rakyat itu lebih sering memihak. Parah lagi, pemihakan tersebut
cenderung membiarkan, bahkan seolah memfasilitasi kekerasan yang dilakukan
pihak-pihak tertentu kepada sesama warga negara. Akibatnya, yang selalu jadi
korban adalah warga negara yang tergolong minoritas. Oleh sebab itu, pencatuman
agama dalam KTP sama halnya memeranakan golongan minoritas secara terus-menerus.
Inikah yang kita
mau? ***