Senin, 30 Desember 2013

Penegakan Hukum Versi Mendagri RI (Gamawan Fauzi) terhadap Gubernur Banten (Ratu Atut Chosiyah)



Oleh Yosafati Gulo


Pengantar:
Tulisan berikut dibuat tanggal 23 Desember 2013, namun baru dipublikasikan hari ini karena ada aktivitas lain yang memerukan didahulukan. Saya pernah baca di salah satu media online bahwa Ratu Atut Chosiyah bersikap legawa atas kasus yang menjeratnya. Kabarnya beliau mau mundur dari jabatan Gubernur. Jika itu benar, maka sebagian dari harapan tulisan ini tercapai. Harapan berikutnya ialah Mendagri Gamawan Fauzi segera bertindak.

 -----

Pernyataan Mendagri, Gamawan Fauzi, tentang tidak mungkinnya memberhentikan Ratu Atut Chosiyah dari jabatan gubernur Banten atas sangkaan keterlibatannya pada kasus Pilkada Bupati Lebak dan korupsi Alkes Banten, secara hukum dapat diterima. Ini didukung oleh ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jabaran ketentuan itu dalam pasal-pasal berikutnya menunjukkan bahwa pelengseran Atut tidaklah gampang. Tidak bisa dilakukan suka-suka apalagi hanya didasarkan pada desakan publik. Jika Mendagri melakukannya, maka ia bisa digugat di PTUN.

Kendati demikian, bukan berarti peluang hukum sudah buntu. Ketentuan Pasal 25 huruf a-g jo Pasal 29 ayat (2) huruf b dan e mengenai tugas, wewenang, dan kewajiban kepala daerah cukup memberi peluang Mendagri untuk bertindak. Dengan penahanannya oleh KPK, sudah tentu sebagian atau seluruh tugas dan kewajiban Atut sebagai Kepala Daerah tidak dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, pelaksanaan tanggung jawab dan kewajiban jabatan terhadap kepentingan rakyat dan tanggungjawabnya kepada Negara, khususnya Pemerintah Propinsi Banten, terabaikan secara hukum.

Rabu, 18 Desember 2013

Mengapa Jilbab Polwan Perlu Disoal?




Sejak beberapa bulan lalu, jilbab di kalangan Polisi wanita (Polwan) gencar dibicarakan. Banyak yang menginginkan agar Polwan segera berjilbab, tapi ada juga yang keberatan. Nampaknya sulit mencapai kata sepakat tentang boleh-tidaknya dan tepat-tidaknya Polwan berjilbab saat bertugas. Alasannya macam-macam, tergantung siapa yang bicara dan titik tolak pandangannya atas jilbab.

Polwan Berjilbab ©2013 Merdeka.com
Terus terang, saya tidak anti jilbab. Memakai jilbab juga bagus. Wanita yang memakai  jilbab, bukan saja tampak anggun, tetapi sekaligus memberi kesan bahwa pemakainya adalah orang yang taat beragama, agama Islam. Pertanyaannya, mengapa pakaian mulia itu disoal? Apa yang salah dengan jilbab?

Jumat, 22 November 2013

SBY Disadap, Indonesia Mestinya Bangga



Perseteruan pendapat gara-gara ulah intelijen Australia melakukan penyadapan terhadap Presiden SBY dan beberapa pejabat Indonesia tahun 2009 lalu membuat saya sedikit terhibur. Bukan apa-apa. “Menu” santapan saya selama ini monoton. Berita di berbagai media cetak dan media online, yang terus-menerus dan hampir melulu “menu” korupsi para pejabat tinggi-tinggi, DPR, Bupati, Gubernur, DPR/D, benar-benar membuat selera membaca saya turun drastis. 

Dengan menu baru itu, selera baca dan dengar saya tiba-tiba muncul lagi. Ia seolah mendapat doping pemacu stamina dan gairah. Sekarang, saya kembali rajin baca koran dan dengar berita di TV.

Selasa, 12 November 2013

Memertanyakan Komitmen Mendagri Terhadap Keutuhan NKRI



Kalau Mendagri (Gamawan Fauzi) sedikit hati-hati, maka berbagai pernyataannya yang sering ditanggapi keras oleh Wagub DKI, Ahok, mungkin tak terjadi. Hal terakhir yang ditentang Ahok, juga digunjingkan publik adalah himbauannya agar para Kepala Daerah bekerjasama dengan FPI dalam bidang agama. 

Sebelum itu, ketegangan keduanya mencuat ketika Ahok mengeritik proyek e-KTP. Berlanjut ketika Gamawan menganjurkan agar Lurah Lenteng Agung (LA), Jaksel, Susan Jasmine Zulkifli diganti karena didemo FPI. Pasalnya, Lurah terpilih hasil lelang Jabatan itu beragama Katolik, tidak beragama sama dengan mayoritas di LA.

Jumat, 11 Oktober 2013

Membenahi Pola Perkuliahan Dalam Sistem Kredit Semester



Pengantar:

Tulisan ini sudah ditulis tahun lalu. Saya tayangkan di sini, selain sebagai arsip, mana tahu ada pembaca yang merasa memerlukan. Pemicu munculnya tulisan ini tahun lalu adalah adanya polemik berkepanjangan tentang penerapan Trimester versus Dwi Semester di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jawa Tengah. Polemik itu sudah dimulai sejak 10 tahun lalu. Kadang berhenti dan timbul lagi. Sampai akhirnya Perguruan Tinggi tersebut menggunakan dua pola pengelolaan Perkuliahan, sebagian besar fakultas menerapkan pola dwi semester dan sebagian kecil trimester. 

Tahun lalu kembali mencuat lagi. Pasalnya Pimpinan Perguruan Tinggi di Universitas yang bersangkutan menerbitkan Peraturan Akademik yang mengharuskan seluruh Fakultas mengelola perkuliahan dengan pola trimester. Peraturan itu sempat menimbulkan gejolak di kalangan mahasiswa dan dosen. Gejolak berhenti karena Pimpinan Perguruan TInggi tersebut memberi solusi pendingin suasana. Mahasiswa yang diwajibkan pada pola trimester hanyalah mahasiswa angkatan 2012/2013, sedangkan mahasiswa angkatan sebelumnya masih diperkenankan memakai pola yang diterapkan di fakultas masing-masing.

Saya sendiri melihat bahwa apa yang dipersoalkan bukan hakekat dari perkuliahan, pendidikan. Melainkan kulit luar, aspek prosedural. Belum sampai pada aspek substansial. Tulisan berikut hendak menunjukkan bahwa aspek kulit luar itu memang bisa menjurus pada substansi, katakanlah peningkatan kualitas perkuliahan yang memberi efek peningkatan kualitas lulusan. Tapi itu bukan monopoli trismester atau dwi semester. Pola apa pun yang dipakai, keduanya dapat menghadapi masalah yang sama.
                                         -----------------------
Dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pola perkuliahan dalam sistem kredit semetser (SKS) sama sekali tidak diatur. Mungkin DPR berpikir bahwa pengaturan dalam Pasal 87 PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, sudah cukup. Padahal Peraturan Menteri yang dijanjikan mengatur Semester Antara pada ayat (3) PP No 17 Tahun 2010 tersebut sampai sekarang belum terbit.

Rabu, 02 Oktober 2013

Merespon Geliat Anak-anak Nias di Face Book



Geliat anak-anak Nias di face book nampak makin dinamis. Beberapa grup sudah, dan terus dibentuk. Di antaranya ialah Suara Nias, Forum Nias Barat, Forum Masyarakat Nias Selatan, Kabar Dari Nias, Nias Community, Komunitas Sadar Wisata Nias, dst. Grup yang anggotanya terbanyak adalah Suara Nias dan Forum Masyarakat Nias Selatan. Hampir 12 ribu dan 11 ribu anggota. Lainnya di bawah 4000 anggota. 

Jumlah anggota grup terus bertambah. Ada yang hanya menjadi anggota pada satu-dua grup. Ada yang masuk di semua grup. Di sini nampak bahwa anggota grup Suara Nias banyak yang setia. Setelah tercatat pada Suara Nias, mereka tidak masuk di grup lain. Grup “Suara Nias”, entah kenapa, lebih disukai.

Yang menarik, latar belakang anggota grup. Bukan cuma kaum terdidik atau yang tinggal di kota-kota besar di luar Nias. Tetapi dari berbagai latar belakang di Kabupaten/Kota sampai kecamatan dan desa di Nias. Gejala ini menunjukkan bahwa semangat anak-anak Nias memanfaatkan jasa internet terus meningkat seiring pergerakan waktu. 

Sabtu, 21 September 2013

Nias Barat Perlu Koreksi Diri



Majalah Tempo online tanggal 13 September 2013 memberitakan empat DOB (Daerah Otonomi Baru) terancam dihapus dari pemekaran oleh Kementerian Dalam Negeri. Tiga di antaranya berada di Papua, sisanya Kabupaten Nias Barat.

Illustrasi (http://pixabay.com)
Berita itu menyebutkan keempat-empatnya belum memenuhi banyak prasyarat untuk menjadi DOB. Hal itu merupakan hasil evaluasi tahun 2012, tapi baru dipublikasikan pada bulan Mei 2013. Keempat DOB tersebut tidak mencapai jumlah poin minimal, 70 poin,  sebagai prasyarat DOB. Tanpa merinci poin apa yang dimaksud, disebutkan bahwa dari 57 DOB yang dievaluasi, Nias Barat hanya mencapai 68 poin. Tiga DOB lainnya di Papua berada di bawahnya. Itu artinya posisi Nias Barat dari 57 DOB yang dievaluasi berada pada nomor urut empat dari bawah.

Rabu, 04 September 2013

GANJAR PRANOWO: MANDI DULU!

Pelantikan Gubernur Jateng periode 2013-2018 terpilih, Ganjar Pranowo (GP) barusan saja usai. Berita tentang proses pelantikannya yang sederhana sudah ditayangkan banyak media.

Ganjar Pranowo Borong 15 Tiket Metallica
Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng (http://www.tempo.co)
Menjelang pelantikan, para pencari berita dari berbagai media sempat mewawancari GP. Salah satu jawaban Gubernur kader PDIP itu atas pertanyaan wartawan adalah, “oh ada, persiapan saya mandi dulu. Masak mau dilantik tidak mandi.”, ujarnya kepada wartawan (SM, 24/08/2013).

Sabtu, 17 Agustus 2013

Membabat Filsafat Hidup Koruptor

Banyak yang mengeritik DPR karena sebagian anggotanya dinilai ingkar. Ingkar hadir pada rapat paripurna, ingkar tugas dan tanggung jawabnya, ingkar janjinya ketika kampanye, ingkar keluhuran jabatan ke-DPR-an, dan banyak lagi. Para pengeritik berpikir bahwa orang yang sudah menjadi DPR serta merta bisa tampil baik seperti sering diteriakkan saat kampanye. Atau setidaknya seperti yang dideskripsikan dalam UU.

Tampaknya tidak disadari atau memang sengaja tidak mau disadari bahwa anggota DPR adalah manusia. Sebelum dan sesudah menjadi anggota DPR, mereka masih tetap sebagai manusia. Lahir-batinnya masih sama. Diri, sifat, naluri alami manusianya, ambisi-ambisi serta “mimpi-mimpinya” tentang apa saja masih sama. Kalaupun ada yang berbeda, maka perbedaan itu lebih bersifat artifisial, cover depannya saja.

Dari dulu orang sudah tahu, bahwa pohon kelapa

Jumat, 02 Agustus 2013

Menelisik Kedudukan Organ Yayasan (3 )

Pada tulisan terdahulu, telah dikemukakan kedudukan organ Pembina dan Pengurus dalam sebuah Yayasan. Dari tulisan itu diketahui bahwa organ Yayasan menurut ketentuan UU No 16 Tahun 2001 jo UU No 28 Tahun 2004 (selanjutnya ditulis UUY) memiliki tugas dan kewenangan masing-masing yang dipisahkan secara tegas. Pembina (terkadang sekaligus sebagai Pendiri) memiliki  beberapa tugas dan kewenangan. Antara lain penentuan tujuan dan arah kebijakan yayasan, perubahan Anggaran Dasar,

Jumat, 26 Juli 2013

Gamawan Fauzi Omong Apa tentang FPI?



Entah yang lain, saya menilai pernyataan Gamawan Fauzi, Mendagri, terhadap kasus FPI setara dengan pernyataan kelabakan, galau. Saya harap, Mendagri Republik Indonesia ini tidak sedang begitu. Kompas.com tanggal 24 Juli 2013 mewartakan sikap Gamawan Fauzi yang melemparkan kasus FPI kepada Pemda atau masyarakat yang merasa terganggu. Ia mengatakan bahwa kasus FPI tidak bisa diberikan sanksi pidana. Tapi perdata.  

Sabtu, 25 Mei 2013

World Statesman Award Untuk Presiden SBY, Mengapa Tidak?


Protes Frans Magnis Suseno (FMS), terhadap rencana pemberian World Statesman Award oleh Appeal Of Conscience Foundation (ACF) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pasti bukan karena iri atau tidak senang kalau Presidennya dihargai oleh Negara lain. Juga bukan bermaksud menghembuskan SARA seperti dituduhkan Dipo Alam (DA), Sekretaris Kabinet RI, di twitternya. “Umaro, ulama dan umat Islam di Indonesia secara umum sudah baik, mari liat kedepan, tidak baik pimpinannya dicerca oleh yang non-muslim FMS,” kicaunya tanggal 21 Mei 2013.

Sebagai akademisi, filsuf, dan agamawan, FMS sudah terbiasa hidup dengan standar moral normal. Terbiasa berpikir rasional yang dilandasi etika. Beliau protes karena pemberian award itu dinilai tidak benar. Tidak wajar. Luar negeri yang tak tahu banyak kondisi dalam negeri memberi award for tolerance di saat tindakan-tindakan intoleransi makin tak terkendalikan oleh Negara.

Apa yang dikatakan FMS jelas sulit dibantah (tentu kalau kita mau jujur dalam mengungkap realitas). Mengapa begitu? Karena penghargaan tersebut tidak mengandung kehorensi dan korespondensi dengan realitas.

Sabtu, 20 April 2013

Upaya Pembina YPTKSW Mencari Rektor UKSW



Oleh Yosafati Gulö

Terbesit berita bahwa Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana (YPTKSW) hendak membuat gebrakan revolusioner menyangkut syarat calon Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Salah satunya, kriteria usia calon. Selama ini calon Rektor UKSW selalu dipatok paling tinggi berusia 60 tahun  saat pelantikan pada tanggal 30 November di tahun pergantian.

Kriteria tersebut ditiadakan. Asalkan semua kriteria lain dipenuhi, maka usia calon tidak disyaratkan. Berapa saja dimungkinkan. Ketentuan ini tentu menarik. Sebab baru terjadi dalam sejarah[1]. Bukan cuma di UKSW, tapi (setahu saya) juga di seluruh PTN-PTS di Indonesia.

The Special One

Minggu, 24 Maret 2013

Menggali Dana Yayasan dengan Mendirikan Usaha Komersial



Oleh Yosafati Gulo

Banyak ahli hukum menilai bahwa UU Yayasan masih mengandung banyak kekurangan. Perdebatan mutakhir mencuat setelah PP No 2 Tahun 2013 tentang Perubahan PP No 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU tentang Yayasan terbit. PP tersebut mengundang kontroversi karena bertabrakan langsung dengan ketentuan Pasal 71 UU No. No 16 Tahun 2001 jo Pasal 71 UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

Pasal 71 ayat (1) huruf b jo ayat (4) menetapkan tanggal 6 Oktober 2008 sebagai batas akhir bagi Yayasan untuk menyesuaikan AD-nya dengan UU Yayasan, tetapi PP No. 2 Tahun 2013 menabrak batasan waktu itu dengan memberikan kesempatan lanjutan tanpa membatalkan bunyi pasal 71 ayat (1) jo ayat (4) UU tersebut[1].

Sabtu, 16 Maret 2013

Ketika Djoko Susilo Melawan Alam


Oleh Yosafati Gulo
“Barang siapa menginginkan harta
akan kehilangan hartanya.”

Itulah yang tengah dialami Inspektur Jendral Polisi Djoko Susilo (DS). Semangatnya untuk memiliki harta melimpah, agaknya melebihi rerata orang. Tidak saja pada aspek keinginanya. Tapi juga dalam merebut peluang. Ia nampaknya begitu cerdas menyusuri setiap bidang yang bersentuhan dengannya guna menumpuk harta.

Illustrasi, sumber : http://fdkm.blogspot.com/2012/04/
mampukah-indonesia-bertahan-melawan.html
Dari sisi itu, “usaha keras” DS dapat diacungi jempol. Hanya dalam tempo beberapa tahun ia berhasil menebalkan pundi-pundinya sebesar ratusan miliaran rupiah. Ada harian yang mengatakan bahwa “usaha kerasnya” itu telah dikonversi menjadi 28 rumah mewah, 1 apartemen yang  sangat mewah 'The Peak', 3 SPBU, 4 sawah berhektar-hektar, dan 3 mobil mewah. Juru bicara KPK Johan Budi bilang,

Sabtu, 02 Maret 2013

Menelisik Kedudukan Organ Yayasan (2)


Oleh Yosafati Gulo

Sebagaimana telah disebutkan dalam tulisan terdahulu, organ yayasan terdiri atas Pembina, Pengurus dan Pengawas. Tulisan berikut akan meninjau kewenangan Pengurus Yayasan secara umum dengan acuan utama Undang-Undang Yayasan (UUY).

Rabu, 20 Februari 2013

Menelisik Kedudukan Organ Yayasan (1)



Oleh Yosafati Gulo

Dengan terbitnya UU Yayasan (UUY)[1], keberadaan Yayasan di Tanah Air menjadi kokoh karena memiliki landasan hukum yang jelas. Dengan begitu, pendirian dan pengelolaan Yayasan diharapkan menjadi tertib dan pengelolanya tidak lagi berlindung di balik badan hukum Yayasan untuk tujuan-tujuan di luar misi sosial, keagamaan dan kemanusiaan

Hal itu sudah ditegaskan dalam Penjelasan UU No. 16 Tahun 2001 UUY. Dijelaskan bahwa UUY dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang  benar kepada masyarakat mengenai Yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum, serta mengembalikan fungsi Yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Sabtu, 16 Februari 2013

Anggota Legislatif di Negara Antah Brantah


Oleh Yosafati Gulo


Di sebuah Negara antah brantah, ada segerombolan lagislatif yang tidak puas pada sebuah UU yang baru mereka setujui secara aklamatif tentang  Ketentuan Pemilihan Presiden di Negara itu. Setelah keluar ruang sidang, satu persatu mengirimkan surat kepada Presiden yang isinya melarang Presiden menjalankan apa yang diatur dalam UU.

Gayung pun bersambut. Sang Presiden segera mengirim surat kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Negeri. Isinya meminta semua bawahannya agar tidak menjalankan UU yang baru di wilayahnya masing-masing.

Legislatif lain dan sebagian besar penduduk negeri heran. Mereka tak habis pikir mengapa Presidennya yang selalu menganjurkan rakyat taat hukum tiba-tiba menyuruh penduduk negeri melawan hukum. Mereka kuatir kalau-kalau Sang Presiden sedang sakit kesadaran.

Sabtu, 09 Februari 2013

Trimester Malu-malu dan Pembunuhan Demokrasi



Oleh Yosafati Gulo

Sebuah PTS yang pernah punya nama besar karena banyak dosen dan mahasiswanya sering mengkritisi kebijakan-kebijakan Pemerintah, nampak sangat bersemangat membuat sejarah. Tapi kali ini, bukan hal hakiki. Hanya menyangkut pembagian tahun akademik dari dua semester menjadi trimester. Melalui sebuah Surat Keputusan, Rektor (katakanlah bernama X) di PTS tersebut menetapkan Peraturan Penyelenggaraan Kegiatan Akademik Dalam Sistem Kredit Semester, seluruh fakultas diwajibkan untuk menerapkan model tersebut mulai tahun akademik 2012/2013. 

Sebelumnya, hanya 21,4 % dari seluruh fakultas di PTS itu yang menerapkan trimester. Yang 78,6%, menerapakan pembagian tahun akademik atas dua semester pertahun seperti di PTN-PTS lain di Indonesia.
Keinginan Rektor X itu sebetulnya sudah dilontarkan lama. Sejak ia menjadi Rektor periode sebelumnya yang sempat diselingi satu periode oleh Rektor lain. Sayangnya beliau gagal meyakinkan Dirjend Dikti  dan Kopertis tempatnya bernaung. Al hasil, gagasan itu ditolak. Malahan setelah ia turun dari jabatan Rektor, PTS bersangkutan pernah ditegur oleh Dirend Dikti dan Koordinator Kopertis.

Illustrasi, sumber : http://ma1annuqayah.sch.id/berita-205-inovasi-pendidikan.html
Di kampus itu, sistem tersebut sempat menimbulkan kisruh. Gelombang protes mahasiswa sempat mewarnai kampus selama beberapa tahun. Tentu, mengganggu perkuliahan. Maka, Rektor sesudahnya (katakanlah bernama Y),  mau tidak mau menempuh jalan kompromi. Tiap fakultas boleh memilih model dua semester atau trisemester. Hasilnya, ya, itu tadi. Lebih banyak yang memilih semesteran.  Tapi ini tidak dilaporkan kepada Dirjend Dikti atau Kopertis. Yang dilaporkan, juga kalau ada tim akreditasi, adalah bahwa PTS tersebut sudah kembali menerapkan model semesteran.

Tidak Terang-terangan

Koordinator Kopertis sebenarnya sudah tahu. Namun, karena pertimbangan resiko bagi lembaga dan mahasiswa, Koordinator Kopertis pura-pura tidak tahu seraya tetap mengingatkan PTS bersangkutan agar segera kembali menerapkan sistem semesteran. Tapi, peringatan tersebut tidak dihiraukan.  Terutama setelah Rektornya kembali dijabat X. Beliau yakin bahwa gagasan trimester tidak melanggar hukum. Lebih-lebih setelah terbitnya PP No 17 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, Rektor X kian yakin bahwa model trimester sudah memiliki payung hukum.

Herannya, model itu tidak terang-terangan ditulis dalam peraturan akademik. Secara malu-malu dibungkus rapi dengan mengakali istilah “semester antara” dalam PP. Caranya? Tahun akademik ditulis terdiri atas dua semester yaitu semester genap dan gasal. Namun, dalam kalender akademik, jadwal registrasi mata kuliah, dan jadwal pembayaran uang kuliah mahasiswa, wajah yang muncul adalah trimester dengan predikat semester gasal, semester genap, dan semester antara. Waktu tatap muka ketiganya dipukul-rata 14 minggu dan banyaknya beban studi mahasiswa tiap trimester dipatok antara 12-18 SKS.

Bercermin pada ketentuan PP No 17, tahun akademik di PTS itu tampak aneh. Ayat (2) pasal 87 menyatakan, “Tahun akademik dibagi dalam 2 (dua) semester yaitu semester gasal dan semester genap yang masing-masing terdiri atas 14 (empat belas) sampai 16 (enam belas) minggu.” Kata “yaitu” (dari kata ya+itu) dalam ayat ini jelas merupakan penegasan bahwa satu tahun akademik hanya ada dua semester (1 semester= 6 bulan).

Illustrasi, sumber : http://www.smartnewz.info/2012/03/6-ciri-orang-yang-tidak-pede.html
Ayat (3) menyatakan, “Di antara semester genap dan semester gasal, perguruan tinggi dapat menyelenggarakan semester antara untuk remediasi, pengayaan, atau percepatan.” Kata “dapat” dalam rumusan ini mengandung dua makna. Satu, semester antara tersebut tidak diwajibkan. Sifatnya opsional. Ia boleh diadakan, boleh juga tidak. Dua, jika diadakan, maka tujuan pelaksanaannya, ya, optional juga. Bisa untuk remediasi saja bagi mahasiswa yang mengulang satu-dua mata kuliah yang bernilai jelek pada semester sebelumnya. Bisa untuk pengayaan bagi mahasiswa yang mau memerdalam ilmunya. Atau bisa untuk percepatan bagi mahasiswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata dengan mengambil satu-dua atau lebih mata kuliah.  Jadi, semester antara tidaklah sama dengan semester genap dan gasal. Ia hanya perlu diadakan bagi mahasiswa yang butuh remidiasi, atau pengayaan, atau percepatan. Di PTN dan PTS lain, hal itu dikenal dengan semester pendek.

Argumen hukumnya ialah jika makna istilah semester gasal = semester genap = semester antara, maka rumusan ayat (2) tidak begitu. Rumusan yang pas adalah: “Tahun akademik dibagi 3 (tiga) semester yaitu semester gasal, semester genap, dan semester antara”.  Nyatanya tidak demikian. Pembuat PP paham bahwa waktu setahun hanyalah 12 bulan. Argumen ini diperkuat oleh ketentuan ayat (4) pasal 87 PP No 17: “Ketentuan lebih lanjut mengenai semester antara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri” (Permen).

Ini artinya “semester antara” memang memiliki makna khusus, sehinga perlu diatur lebih lanjut dengan PerMen. Dengan kata lain, sebelum ada PerMen, ketentuan ayat (3) tersebut belum dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu, bila PT (N/S) ingin menyelenggarakannya, Rektor tak perlu memaksakan penafsiran tunggalnya sebagai kebenaran mutlak. Sebelum ada PerMen, tak patut bagi PTS memaksakan pemahaman bahwa semester antara  = semester gasal = semester genap.

Pilot Proyek

Melakukan innovasi tentu saja baik. Membuat sejarah sebagai innovator juga baik. Tapi, mengapa harus terburu-buru? Mengapa konsep innovasi tidak dimatangkan lebih dahulu? Di 21,4% fakultas tersebut di atas mungkin lebih baik dijadikan pilot proyek dulu. Lalu dalam kurun waktu tertentu dievaluasi, diperbaiki yang kurang dan disempurnakan yang sudah baik. Hasil evaluasi nantinya dipakai untuk  mematangkan konsep lewat seminar yang melibatkan para ahli pendidikan.

Tanpa proses semacam itu, saya tidak melihat hal esensial dalam trimester. Teman saya bilang, identik dengan kebiasaan makan saja. Ada orang yang suka makan dua kali dalam sehari dengan porsi jumbo dan ada yang suka makan tiga kali denga porsi lebih kecil. Hasil akhirnya sama. Dua kali atau tiga kali makan dalam sehari tidak mengubah kualitas makanan yang dimakan. Juga tidak meningkatkan kualitas orang yang makan.
Kalau mau dikenal sebagai innovator, dicatatkan diri dalam sejarah, lebih terpuji jika dilakukan dengan cara-cara wajar. Yakinkanlah dunia akademik melalui tulisan dan seminar. Tunjukkan keunggulan proses pelaksanaanya di 21,4% fakultas yang sudah melaksanakannya. Cara seperti inilah yang sesuai dengan dunia akademik yang lebih patut daripada cara-cara militer dengan sistem komando.

Illustrasi, sumber: http://admissions.umm.ac.id/id/Informasi%20Umum-Tentang%20UMM-Penelitian%20dan%20Pengabdian.html
Dunia akademik memang beda dari dunia militer. Perbedaan pendapat di dunia akademik adalah wajar dan dihargai. Sebelum sebuah innovasi diterima, mungkin ia menjadi bahan perdebatan panjang yang melelahkan. Bahkan kecaman dan cemoohan. Baik secara lisan maupun tertulis. Tapi innovator sejati tidak mudah menyerah, putus asa, apalagi kalap.

Mahasiswa Diajak Tarung

Contoh sikap kalap ialah respon seorang pejabat struktural di PTS tersebut ketika menghadapi protes mahasiswa pada bulan Agustus 2012. Mahasiswa protes karena dinilai tidak sesuai dengan program studi mereka. Menanggapi protes mahasiswa, pejabat itu bilang, “Ini sudah menjadi keputusan rapat pimpinan. Kalau ada yang memermasalahkan secara hukum, kami siap 100 persen. Kalau merasa ini ilegal, kami siap menghadapi di pengadilan sekalipun,” tegasnya tanpa malu menantang mahasiswanya.

"Ini sudah menjadi keputusan rapat pimpinan. Kalau ada yang memermasalahkan secara hukum, kami siap 100 persen. Kalau merasa ini ilegal, kami siap menghadapi di pengadilan sekalipun"

Respon tersebut jelas janggal dalam dunia akademik. Protes seharusnya ditanggapi dengan argumen ilmiah. Proters terhadap peraturan akademik seharusnya direspon dengan paparan dan penalaran. “Senjata” untuk memenangkan ide seharusnya kajian ilmiah dengan dukungan bukti empirik. Bukan dengan mengajak mahasiswa berkonflik atau tarung di pengadilan, Sebab dosen bukan preman pasar.  Lagi pula, itu tak mendidik. Respon itu tak lebih dari unjuk arogansi kuasa.

Menanggapi cara penanganan protes tersebut, banyak alumni dari PTS bersangkutan kaget. Mereka katakan bahwa lembaga mereka itu dulu dikenal sangat demokratis. Sangat menghargai perbedaan pendapat. Tapi, sekarang malah memasung perbedaan pendapat, membunuh demokrasi. Para pejabatnya serem-serem. Lebih cocok disebut militer daripada dosen. Orang yang berbeda pendapat dianggap musuh. Cara berpikir yang dikonstruksi mirip doktrin militer yang hanya membagi manusia atas dua kategori : kawan dan lawan!

Saya jadi bertanyatanya, ada apa dengan para  pejabat di PTS tersebut? Hal yang kulit-kulit kok dijadikan pokok, sementara yang pokok tidak disentuh?

Artikel terkait:

Selasa, 05 Februari 2013

Memahami Otonomi Perguruan Tinggi



Oleh Yosafati Gulo

Belakangan ini, di sebuah kampus PTS  yang cukup dikenal di Indonesia sering melontarkan wacana dikotomistik bahwa urusan akademik adalah urusan rektor dan urusan non akademik adalah urusan yayasan. Pembina atau Pengurus Yayasan tak perlu mengintervensi urusan akademik karena hal itu merupakan kewenangan rektor. Wacana ini dilontarkan oleh pejabat struktural dan beberapa anggota pembina di yayasan tersebut.

Pertanyaannya apa yang dimaksudkan dengan urusan akademik dan non akademik? Apa benar bahwa semua hal yang berbau akademik adalah urusan rektor sehinga Yayasan atau Pembina atau Pengurus sama sekali tak punya kewenangan?

Mencegah diri terjerumus dalam generalisasi yang keliru, tulisan berikut berusaha mengemukakan ketentuan hukum yang mengatur tentang urusan akademik dan non akademik tersebut. Acuan bahasan adalah UU No 12 Tahun 2012 dan PP No 66 Tahun 2010 tentang perubahan PP No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelengaraan Pendidikan.

Otonomi Pengelolaan

Ada tujuh pasal dalam UU No 12 Tahun 2012 yang mengatur tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi (PT), yaitu Pasal 62 sampai pada Pasal 68. Pasal 62 menyebutkan bahwa perguruan tinggi (PT) memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Hal ini dilaksakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan PT, yang dilaksanakan secara mandiri berdasarkan Peraturan Menteri.

Konsep kunci dalam pasal itu ialah PT memiliki otonomi untuk mengelola lembaganya. Otonomi dimaksud disyaratkan oleh tiga hal, kesesuaian dengan dasar PT, tujuan PT, serta kemampuan PT dalam melaksanakan otonomi. Asumsi di belakang konsp itu ialah bahwa hanyalah PT tertentu yang boleh melaksanakan otonomi, yaitu yang memenuhi tiga syarat di atas.

Terlepas dari setuju atau tidak, dalam bahasa negatif, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi nampaknya menegaskan bahwa tidak semua PT memiliki kemampuan dalam melaksanakan otonomi atau tidak semua PT dibolehkan melaksanakan otonomi bila tidak sesuai dengan dasar dan tujuan PT. Takaran yang dipakai untuk menilai hal itu adalah Peraturan menteri[1] tentang otonomi perguruan tinggi.Otonomi dimaksud (Pasal 64 ayat (1)) terdiri atas otonomi di bidang akademik dan bidang non akademik. 

Otonomi pengelolaan di bidang akademik meliputi penerapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan Tridharma (lihat Pasal 64 ayat (2)), sedangkan otonomi di bidang non akademik meliputi penerapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana (Pasal 64 ayat (3)).

Syarat Otonomi               

Pemberian otonomi itu, tidak bersifat gebyah uyah atau pukul rata bagi semua PTN. Pasal 65 ayat (1) menegaskan, “Penyelenggaraan otonomi PT sebagaimana dimaksud pada Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilan Pendidikan Tinggi yang bermutu.” PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan (lihat Pasal 65 ayat (2)).

Pertanyaannya, norma apa yang diterapkan oleh PTN secara mandiri dalam mengelola lembaganya? Pasal 68 menegaskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan PT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah itulah norma yang diterapkan oleh setiap PTN.

Dengan penegasan-penegasan di atas nampak bahwa untuk menilai mampu tidaknya sebuah PTN menyelengarakan otonomi sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan PTN adalah ditakar dengan Peraturan Menteri, sedangkan norma yang harus dijadikan patokan dalam menyelenggarakan otonomi adalah Peraturan Pemerintah.

Babagaimana halnya dengan PTS? Sebagai bagian dari sistem pendidikan tinggi di Indonesia, PTS berkeharusan menaati pengaturan dalam Peraturan Menteri dan Peraturan Pemerintah (yang akan terbit) itu. Selain itu, PTS berkeharuan menaati Pasal 67 UU No 12 Tahun 2012 yang menyatakan demikian: “Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 pada PTS diatur oleh badan penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas kiranya dapat dipahami bahwa otonomi pengelolaan PT di bidang akademik dan bidang non akademik mengandung beberapa makna. Pertama, bahwa tidak semua PTN berkewenangan menyelenggarakan otonomi di bidang akademik dan bidang non akademik. PT yang berwenang adalah PTN yang dinyatakan memenuhi syarat berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN.

Kedua, kewenangan yang diberikan kepada PTN terbatas pada penerapan norma atau ketentuan khusus tentangnya. Hal ini diatur secara khusus dan detail  dalam Peraturan Pemerintah seperti ditegaskan pada Pasal 98 UU No 12 Tahun 2012 di atas.

Ketiga, bahwa PTS apa pun sebagai bagian dari Pendidikan Tinggi di Indonesia dan diakui oleh, serta mengakui,  hukum Indonesia juga memiliki otonomi sebagaimana halnya PTN. Dalam menyelenggarakan otonomi di bidang akademik dan bidang non akademik itu, semua PTS berkeharusan mendasarkan diri pada dua ketentuan, yaitu ketentuan-ketentuan Pemerintah seperti UU, PP, PerMendikbud, dan ketentuan dari badan penyeleggara atau yayasan atau perkumpulan badan hukum penyelenggara pendidikan tinggi (lihat Pasal 67 jo Pasal 64 UU No 12. Tahun 2012).

Berdasarkan pemahaman di atas, nampak bahwa PTN pun tidak semua dan tidak otomatis berhak mendapatkan otonomi. Yang lebih beruntung adalah PTS. Dengan diakuinya Yayasan sebagai badan hukum, secara otomatis ia mendapatkan hak otonomi oleh ketentuan UU. Namun, ia tidak bisa sesukanya juga. UU menuntutnya menjalankan otonomi pengelolaan akademik dan non akademik berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Yayasan, Badan Penyelenggara, atau Perkumpulan di mana PTS bersangkutan bernaung. Ini artinya bahwa keterlibatan Yayasan, atau Pembina atau Penggurus dalam menetapkan norma otonomi pengelolaan akademik dan non akademik bagi PTS sama sekali bukan intervensi, melainkan keharusan yang didelegasikan UU. 

Dengan demikian, jika ada pimpinan PTS yang mengatakan bahwa keterlibatan Yayasan atau Pembina atau Pegurus dalam mengatur otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi di bidang akademik adalah sebuah intervensi, nampaknya merupakan kekeliruan pemahaman terhadap perintah UU No 12 Tahun 2012. Itu menurut saya! ***


[1] Sampai tulisan ini dibuat, Peraturan Menteri tentang Otonomi Perguruan Tinggi belum terbit. Pasal 98 ayat (1) UU No 12 Tahun 2012 menyatakan bahwa “Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Berarti paling lambat tanggal 10 Agustus 2014. Dari 100 Pasal UU No 12 Tahun 2012 ada 39 pasal yang pelaksanaannya akan diatur dalam bentuk peraturan Menteri sebanyak 28 pasal dan Peraturan pemerintah sebanyak 11 pasal.



Minggu, 27 Januari 2013

PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA



Oleh : Yosafati Gulo

Sebagaimana difahami bahwa hukum bukanlah sesuatu yang hadir di dunia hampa. Ia selalu hadir bersama dan di tengah-tengah masyarakat manusia. Di mana ada manusia, seprimitif atau semodern apa pun, di situ ada hukum, baik tertulis maupun tak tertulis (ubi societas ibi ius, tulis Markus Tullius Cicero). Hukum tertulis tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat modern sementara hukum tak tertulis tumbuh dan berkembang dalam praktek hidup masyarakat  tradisional.

Ada setidaknya tiga alasan mengapa hukum penting bagi manusia, yaitu bahwa dalam melangsungkan kehidupannya manusia memerlukan ketertiban, kepastian, dan keadilan.[1] Dengan adanya ketiga hal itu, maka berbagai kebutuhan hidup manusia sebagai individu dan anggota masyarakat dapat terpenuhi. Manusia dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara nyaman bersama manusia lain, hak hidup individu dan masyarakat dapat ditata dan dilindungi berdasarkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang diciptakan dan diterima bersama. Dalam kebersamaan itu pula setiap individu dimungkinkan untuk mengembangkan segala potensi dan kemampuannya berdasarkan pilihan bebasnya sesuai dengan norma-norma dan kaidah-kaidah perilaku yang ada. Atau secara negatif dapat dikatakan bahwa dengan adanya hukum, manusia tidak mejadi menjadi serigala bagi sesamanya.