Minggu, 27 Januari 2013

PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA



Oleh : Yosafati Gulo

Sebagaimana difahami bahwa hukum bukanlah sesuatu yang hadir di dunia hampa. Ia selalu hadir bersama dan di tengah-tengah masyarakat manusia. Di mana ada manusia, seprimitif atau semodern apa pun, di situ ada hukum, baik tertulis maupun tak tertulis (ubi societas ibi ius, tulis Markus Tullius Cicero). Hukum tertulis tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat modern sementara hukum tak tertulis tumbuh dan berkembang dalam praktek hidup masyarakat  tradisional.

Ada setidaknya tiga alasan mengapa hukum penting bagi manusia, yaitu bahwa dalam melangsungkan kehidupannya manusia memerlukan ketertiban, kepastian, dan keadilan.[1] Dengan adanya ketiga hal itu, maka berbagai kebutuhan hidup manusia sebagai individu dan anggota masyarakat dapat terpenuhi. Manusia dapat hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara nyaman bersama manusia lain, hak hidup individu dan masyarakat dapat ditata dan dilindungi berdasarkan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang diciptakan dan diterima bersama. Dalam kebersamaan itu pula setiap individu dimungkinkan untuk mengembangkan segala potensi dan kemampuannya berdasarkan pilihan bebasnya sesuai dengan norma-norma dan kaidah-kaidah perilaku yang ada. Atau secara negatif dapat dikatakan bahwa dengan adanya hukum, manusia tidak mejadi menjadi serigala bagi sesamanya.

Jumat, 18 Januari 2013

Banjir, Lady Gaga, dan Kita



Oleh Yosafati Gulo

Apa hubungannya Banjir dan Lady Gaga? Ya, banyak banget. Lady Gaga dan banjir suka kebebasan. Mau mengekpresikan dirinya seutuhnya. Termasuk telanjang. Dan banjir memang telanjang. Cuma, Lady Gaga tidak pernah suka banjir kalau mau show. Oh ya, sehari-hari juga begitu. Ia tak suka banjir kalau bepergian pakai kendaraan darat. Sama dengan kita di Indonesia. Apalagi sodara-sodara sebangsa dan setanah air kita di Jakarta saat ini.

Polisi kerahkan ribuan personel atasi banjir Jakarta
Illustrasi. Sumber gambar: http://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-kerahkan-ribuan-personel-atasi-banjir-jakarta.html
Kalau begitu, apa bedanya kita dengan Lady Gaga? Oh tentu saja banyak. Sulit dihitung? Persamaannya? Juga banyak. Di antaranya, Lady Gaga dan kita, sama-sama tidak suka banjir. Apalagi kebanjiran. Lady Gaga tidak suka dicekal. Kita? Ya sama, tidak suka juga. Apa hanya kita dan Lady Gaga yang tidak suka dicekal? Oh tidak. Semuanya saja tidak suka. Jangankan manusia, ayam, kambing, tikus, dan binatang apa pun tak suka dicekal. Sama seperti banjir!

Jika begitu, mengapa di antara kita ada yang memupuk hobi mencekal? Padahal kalau si pencekal itu dicekal, ia juga tak mau. Alasan budaya? Budaya yang mana? Lady Gaga kita anggap tidak sopan dan merusak budaya kita? Budaya siapa, budaya apa? Goyangannya di panggung kita nilai jorok? Apanya yang jorok? Bagaimana dengan goyang dangdut model bor dan gergaji? Apa itu sopan atau jorok? Nampaknya semua  relatif. Mau dibilang jorok ya bisa. Tentu kalau otak kita lagi mikir hal-hal jorok. Sebaliknya, kita bisa bilang indah, kalau pikiran kita lagi bersih.

Tidak Pilih Bulu

Banjir, jelas tidak baik. Tapi tidak melulu begitu. Ada sisi baiknya juga. Ya, sama seperi benacana alam apa pun. Banjir ternyata mampu menggelitik kemanusiaan kita. Dengan adanya banjir, kita yang semula selalu “menghitung” dan memertentangkan perbedaan beralih melihatnya sebagai kekuatan yang menghidupkan.
Banjir memaksa kita untuk faham bahwa kita dan manusia lain ternyata sama. Sama-sama butuh nyaman, butuh perlindungan, butuh hidup. Lagi pula, banjir tidak pilih bulu. Siapa saja ia hantam. Ia tak tidak tanya anda dan saya dari etnis apa dan agama apa atau tak puya agama sekalipun. Ia juga tak mau tahu bentuk mata bulat atau sipit, rambut lurus atau keriting. Siapa saja ia babat.

BKPM: Banjir Jakarta tidak seperti Thailand
Sumber gambar : http://www.merdeka.com/uang/bkpm-banjir-jakarta-tidak-seperti-thailand.html
Banjir ternyata menggerakkan kemanusiaan kita yang terdalam. Ia Mampu mengubah sikap kita yang jelek, walaupun hanya sementara. Yang sebelumnya rajin menonjolkan primordialisme, ternyata mengerem diri. Tidak lagi menanyakan siapa, dari suku apa, agamanya apa? Melihat sesama dihempas banjir, spontan kita tolong. Juga terhadap bantuan. Kita tidak tanya, apakah itu dari kafir atau dari orang beriman. Apakah dari Partai A atau B. Dari suku C atau D. Kita ternyata menerima anggapan bahwa hidup lebih penting daripada aspek penompang hidup.

Mengapa begitu? Tentu saja banyak jawabnya. Tapi yang inti menurut saya ialah karena dalam diri kita selalu ada keadaran bahwa hidup adalah yang inti. Karena itu selalu ada keinginan dan kebutuhan menghargai hidup. Ya hidup kita sendiri, ya orang lain. Itulah sebabnya kita tergerak menolong dan tak menolak ditolong. Nampaknya, itulah sikap yang benar. Sebab, banjir sendiri tidak pandang bulu, bukan?

Ajaran Banjir

Lha, kalau banjir saja tidak pilih-pilih, mengapa kita makhluk berakal sering lebih bodoh daripada banjir? Nampaknya, pelajaran yang diajarkan banjir itu perlu kita camkan. Kita perlu membuka hati untuk lebih menghargai hidup, menghormati keberbagaian daripada rupa-rupa eksterior yang sifatnya hanya memerlengkapi hidup.

Jakarta Banjir Januari 2013 14 460x306 Jakarta Banjir Januari 2013 14
Sumber gambar : http://www.dapurpacu.com/foto-foto-banjir-di-mh-thamrin-jakarta/jakarta_banjir_januari_2013_14/
Agama umpamanya. Apakah agama lebih penting daripada hidup? Bagi saya, hidup adalah yang inti. Agama adalah aspek eksterior. Ia hadir untuk menolong manusia dalam memerlengkapi hidup, menyempurnaan hidup. Baik “si sini” maupun “di sana”. Sebab kalau semua manusia sudah mati, apakah agama perlu? Untuk siapa? Untuk apa? Oleh karena itu, tidaklah bijak kalau kita lebih memetingkan agama kalau ia merusak hidup.

Demikian juga etnis. Benar bahwa entis adalah aspek yang melekat pada diri manusia. Ia hadir bersamaan dengan hadirnya manusia di bumi. Tapi mana yang lebih penting, hidup itu sendiri atau etnis? Bagi saya, ya hidup. Saya tak peduli hidup saya dan Anda dari etnis mana. Sebab saya dan Anda tidak dapat memilih lahir dari etnis mana pun. Oleh karena itu, yang penting bagi saya adalah Anda dan saya sama-sama butuh hidup.

Karena sama-sama butuh hidup, maka sudah sepantasnya kita saling mendukung, bukan saling menjegal. Kita perlu saling menolong dan memfasilitasi, bukan saling menghambat. Kita perlu menghargai pluralitas, karena pluralitas adalah khasnya kehidupan. Ia merupakan eksterior hidup yang memberi kekuatan bagi hidup. ***

Sabtu, 12 Januari 2013

TOWI-TOWI,LAGU LEGENDARIS NIAS



Lagu ini berjudul Towi-Towi. Towi-towi adalah nama salah satu jenis burung yang kicauannya bagus.(maaf nama ilmu pengetahuannya kurang faham)

Lagu ini sudah cukup lama. Diciptakan oleh Piet Harefa, salah seorang musisi ternama di Nias dengan lagu-lagunya yang bertema adat Nias. Sekalipun lagu ini sudah lama, sampai sekarang toh masih digemari anak-anak Nias, baik yang ada di Nia maupun di luar Nias.

Lagu ini bercerita tentang betapa gelisahnya seorang gadis Nias yang sudah dipinang oleh seorang calon suami. Pada masa yang lalu, pinangan dilakukan tidak berdasarkan suka-sama suka antara si gadis dan calon suaminya. Pada masa yang lalu tidak ada masa-masa pacaran. Si gadis dinikahkan oleh orang tuanya dengan cara dijodohkan.

Dalam lagu ini dikisahkan bahwa kedua belak pihak keluarga  sudah saling setuju. Salah satu tandanya ialah pihak laki-laki telah memberikan tanda pinangan berupa sebentuk emas. Tapi sekalipun demikian belum ada tanda-tanda kepastian realisasinya dari pihak laki.

Berkicaunya burung "Towi-Towi"  di pagi hari membuat si gadis bertanya apakah itu pertanda baik. Apakah Towi-towi membawa kabar baik dari pihak laki-laki bagi keluarganya. Atau jangan2 ada orang yang menjelek-jelekkan keluarganya kepada pihak keluarga laki-laki tentang tingginya derajat adat keluarga si gadis yang berakibat pada besarnya jujuran (mahar, biaya) pernikahan. Sebab di Nias dalam sebuah pernikahan pihak laki-lakilah yag menanggung seluruh biaya pernikahan.

Konsekuensi posisi adat dalam bentuk biaya pernikahan itu disesali oleh sang gadis. Ia mengeluh kepada orang tua yang mendidik dan membesarkannya, jangan-jangan hal itu nantinya membuat mereka menderita. Sebab diyakini bahwa biaya itu semua bukanlah uang atau emas dari keluarga milik pihak laki-laki secara cash. Pasti ada pinjaman dari pihak lain yang tentu akan mereka ganti setelah mereka menikah kelak.

Selamat menikmati.

Rabu, 09 Januari 2013

KACAUNYA KONSEP KEUNGAN NEGARA DALAM SEMANGAT PEMBERANTASAN KORUPSI


Oleh Yosafati Gulo

Korupsi di Indonesia tak ubahnya amuba yang terus membelah diri atau kanker ganas yang terus merambat menggerogoti tubuh bangsa. Gencarnya media cetak dan elektronik memberitakan para pejabat seperti Gubernur, Bupati/Walikota dan anggota DPR/DPRD yang dibui karena tersangkut pidana korupsi sepertinya tak cukup menyurutkan niat banyak orang untuk melakukan korupsi. 

Seiring dengan itu, semangat memberantas korupsi juga terus dipacu. Diundangkannya UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang kemudian diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, disusul UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan wujud kesungguhan pemerintah untuk memberantas korupsi.

Anehnya upaya tersebut seperti tak punya taji. Hal ini nampak dari makin meningkatnya jumlah pejabat yang terjerat korupsi. Data yang dilansir oleh situs Kementerian Dalam Negeri misalnya mencatat sampai tahun 2012 ini ada 173 Kepala Daerah dari berbagai daerah di tanah air telah tersangkut berbagai kasus korupsi. Status mereka macam-macam. Mulai dari saksi, tersangka, terdakwa, hingga terpindana (http://www.setkab.go.id).  Kompas.com mencatat,  dari jumlah tersebut ada setidaknya 17 orang dari 33 Gubernur dan 138 orang Bupati/Walikota dari total 497 Bupati/Walikota di seluruh Indonesia dinyatakan terlibat korupsi.

Yang menarik, dalam kebanyakan --kalau tidak dikatakan setiap-- kasus, para penegak hukum cenderung menjerat terdakwa dengan dalih kerugian keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam kasus-kasus kontrak konstruksi atau pengadaan barang.jasa pemerintah, kasus kredit macet, atau pemberian pinjaman kepada perusahaan yang dinilai mengarah pada wanprestasi (ingkar janji) atau kredit macet cenderung dijerat dengan pasal-pasal dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan pasal 2 ayat (1) UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tersebut dan sejumlah UU lain terkait dengan keuangan negara.

Pemaksaan Konsep

Yang nampak kemudian adalah terus bermunculannya dakwaan Jaksa dan keputusan hakim terhadap terdakwa secara tendensius. Semua pelanggaran dalam berbagai kegiatan pembangunan, kegiatan perbankan atau yayasan seolah dipaksa untuk dipahami hanya sebagai tindak pidana korupsi yang melulu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Konsep Wanprestasi dalam kontrak, kesalahan prosedur, atau konsep resiko bisnis dalam sebuah perseroan hampir selalu diartikan sebagai tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara.

Kasus kegagalan bangunan karena ketidaksesuaian spesifikasi dalam kontrak dengan hasil konstruksi cenderung dijadikan sebagai tindak pidana korupsi. Kasus Aulia Pohan yang menggnakan dana sengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) untuk memberikan bantuan hukum kepada empat mantan Direksi BI yang tersandung masalah hukum dijerat dengan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kasus pemberian kredit Bank Mandiri oleh Neloe dan kawan-kawan juga dijerat dengan UU yang sama selain pasal-pasal UU tentang Pemberantasan Korupsi.

Dasar dakwaan jaksa dan putusan hakim secara sepintas memang bisa dibenarkan. Didukung oleh rumusan pasal 1 angka 1 UU No 17 tahun 2003 yang berbunyi, “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”

Dikatikan dengan wilayah keuangan negara sebagaimana dirumuskan pada pasal 2 UU No 17, konsep keuangan negara sebagai dasar para jaksa dan hakim dalam menangani perkara tampak mudah tapi sekaligus membingungkan. Disebut demikian, karena wilayah keuangan negara makin diperlebar sampai pada kekayaan pihak lain seperti milik perusahaan atau yayasan (lihat Pasal 2 huruf g, h.i UU No 17 tahun 2003).

Akibatnya para penegak hukum bisa dengan leluasa menjerat siapa saja dalam kasus apa saja yang terindikasi atau mengarah pada kerugian keuangan negara, sekalipun hal itu terjadi di luar wilayah kekuasaan pemerintah seperti dalam perseroan atau yayasan. Senjata mereka umumnya adalah rumusan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 ayat (1) UU No 31 tahun 1999 jo 20/01. Pasal 2 ayat (1) berbunyi : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Pasal 3 ayat (1) berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Dengan rumusan kedua pasal itu, sekalipun seseorang belum melakukan tindakan korupsi yang merugikan uang negara ia toh bisa dijerat. Istilah “melawan hukum” dan “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam rumusan di atas mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal dan material.

Artinya, meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan per-UU-an, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma dalam kehidupan sosial oleh Jaksa atau hakim, atau meskipun seseorang belum melakukan tindakan korupsi asalkan sudah memenuhi unsur delik formal maka perbuatan itu dapat dipidana (Nindyo Pramono, 2010:8). Akibatnya ialah, selain penerapan hukum terkesan asal-asalan, rasa keadilan dalam menerapkan hukum terabaikan.

Penataan Hukum keuangan

Untuk mengatasi kekacauan di atas, saran Arifin P. Soeria Atmadja (2009), nampaknya perlu dipertimbangkan secara serius. Beberapa di antaranya ialah, pertama, adanya kesepahaman mengenai konsep negara dan daerah sebagai badan hukum  publik yang pada saat yang sama dapat berperan sebagai badan hukum  privat. Sebagai badan hukum publik keuangan negara yang dikelola oleh negara dan daerah tunduk pada peraturan perundang-indangan yang berlaku di negara dan daerah. Keuangan negara dalam bentuk ABPN dan APBD tunduk pada UU APBN dan Perda. Keuangan negara yang dipisahkan dan dipakai untuk mendirikan usaha seperti PT umpamanya harus tunduk pada UU No 40 tahun 2007 tentang Persoroan Terbatas. Demikian pula keuangan badan atau lembaga negara yang dipisahkan untuk mendirikan yayasan, harus tunduk pada UU No 16 tahun 2001 tentang Yayasan dan UU No 28 tahun 2004 tentang perubahan atas UU No 16 tahun 2001 tentang Yayasan, dst.

Kedua, adanya kesepahaman mengenai konsekuensi hukum atas tindakan pemerintah pusat dan daerah ketika memisahkan uang negara berdasarkan peraturan pemerintah mengenai penyertaan modal negara (PMN) atau daerah dalam bentuk keputusan gubernur atau bupati/walikota dan ketika uang yang sudah dipisahkan itu ditempatkan menjadi saham dalam mendirikan sebuah perseroan terbatas. Tindakan memisahkan uang negara  atau daerah menunjukkan status pemerintah sebagai badan hukum publik, sementara tindakan menempatkan uang yang dipisahkan itu dalam bentuk saham menunjukkan status pemerintah sebagai badan hukum privat. Sebagai yang demikian, konsekuensi hukum atas tindakan “memisahkan” dan “menempatkan” tersebut, termasuk jika ada pelanggaran, merupakan konsekuensi hukum publik dan privat.

Berdasarkan jalan pikiran di atas, maka kasus Aulia Pohan atau Neloe dan kawan-kawan, seharusnya tidak termasuk kerugian keuangan negara. Penggunaan uang YPPI oleh Aulia Pohan sebagai salah seorang pengurus YPPI bukanlah penggunaan uang negara, melainkan penggunaan uang yayasan; pemberian pinjaman kredit oleh Neloe dan kawan-kawan kepada CGN bukanlah meminjamkan keuangan negara, melainkan uang PT Bank Mandiri. Oleh sebab itu, jika mereka dinilai salah, maka takaran yang tepat adalah aturan hukum mengenai yayasan dan perseroan  terbatas.

Ketiga, adanya tekad pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali ketentuan perundang-undangan mengenai konsep kerugian keuangan negara. Sebab memasukkan kerugian swasta atau badan hukum privat seperti PT atau yayasan sebagai kerugian keuangan negara hanya karena pihak swasta menggunakan fasilitas pemerintah (lihat huruf i pasal 2 UU No 17 tahun 2003) adalah konsep yang bisa membahayakan negara dan menghambat perkembangan dunia usaha. Sebab dengan konsep itu, negara turut bertanggung jawab atas kekayaan swasta yang memeroleh fasilitas pemerintah. Jika pihak swasta mengalami pailit, negara turut bertanggung jawab menanggung utang pihak sawsta yang telah menggunakan fasilitas pemerintah.

Pada hemat saya, hanya dengan penataan tersebut dimungkinkan adanya kejelasan batasan keuangan negara dan keuangan swasta sehingga penanganan pelanggaran yang timbul di dalamnya sekaligus merupakan upaya menegakan hukum secara tertib. Oleh sebab  itu, upaya pemberantasan korupsi tidak merusak ketetiban dalam menegakan hukum.***