Amien Rais |
Satu hal yang saya suka kepada
Amien Rais adalah semangatnya yang terus menyala-nyala dalam mengejar,
mewujudkan, apa diperjuangkannya. Ia tak kenal lelah, apalagi menyerah. Sekali
menentukan apa yang hendak dicapai, ia pasti all out berjuang, luar-dalam, hati, pikiran, aksi. Ia tak
mengenal kata berhenti sebelum sampai ujung, walaupun kerap hanya di ujung
jalan buntu.
Banyak yang seusia dia memilih
istirahat dari hiruk pikuk politik. Bagi mereka, peran langsung dalam politik
praktis sudah selesai. Panggung harus diserahkan kepada generasi muda. Bukan
berarti diam, tetapi mereka mengambil peran yang lebih tinggi. Beralih menjadi
“bapak” bagi semua anak-anak bangsa. Contohnya adalah B.J. Habibie dan Buya
Ahmad Syafii Maarif.
Orang semacam itu lebih cocok
berperan menjadi pemberi saran, penasehat, pemberi masukan kepada generasi
muda. Entah secara formal lewat organisasi politik, organisasi masyarakat
(Ormas), maupun informal melalui berbagai jalur. Ada di antaranya yang menulis
buku, artikel di media, maupun dengan menjadi pembicara pada seminar-seminar di
bidangnya masing-masing.
Amien beda. Ia tidak mau naik
kelas. Selalu ingin menjadi pemain. Ibarat permainan bola. Ia tidak mau menjadi
wasit atau hakim garis atau pelatih. Hanya mau bermain di posisi kapten di
antara pemain muda yang energi dan staminanya prima.
Pasalnya, apa yang dilakukannya
pada masa lalu, di dunia politik dan akademik dinilai belum cukup. Posisi ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pendiri sekaligus ketua umum Partai
Amanat Nasional (PAN), dan saat ini menjadi Ketua Dewan Kehormatan PAN, bagi
Amien masih koma. Belum sampai di titik. Titik yang dibidiknya itu sejak Pemilu
1999 ialah jabatan presiden, tapi selalu gagal.
Apakah itu salah? Tentu tidak.
Pertanyaannya, apakah itu
mungkin? Pertanyaan ini muncul karena adanya gejala sebaliknya dalam perjuangan
Amien. Semakin melibatkan diri dalam dunia politik, ia makin ditinggalkan oleh
para tokoh partai, termasuk PAN besutannya sendiri. Buktinya, ketika ia
menyarankan agar menteri asal PAN keluar dari kabinet Jokowi, pimpinan PAN
bilang: tidak! Lalu, kalau PAN saja tidak mendukung dia, siapa yang akan
mendukung dia menjadi Presiden? HTI? FPI? Anggota GNPF MUI? Apa cukup?
Pada Pilres 2014 yang lalu,
Amien mati-matian memertahankan panggung politik. Dengan segala upaya
ia all outmemerjuangkan Prabowo dengan berbagai cara di berbagai
kesempatan. Prabowo yang sebelumnya ia kritik habis-habisan karena kasus-kasus
orang hilang, tiba-tiba ia puja-puji bak malaikat suci. Sampai-sampai ia bilang
tidak ada orang yang bisa memimpin Indonesia selain prabowo. Hanyalah Prabowo
yang bisa menyejahterakan rakyat Indonesia, yang bisa menegakkan wajah
Indonesia di dunia internasional. Saking yakinnya, ia pun bernazar akan
berjalan kaki pulang pergi Jogja-Jakarta kalau Jokowi menang.
Nyatanya? Semua sudah tahu,
bukan?
Tujuannya memerjuangkan Prabowo
sebenarnya ada dua. Pertama, ia menduga bahwa Prabowo bisa ia dikte. Dengan
begitu perasaan sedihnya setelah usahanya menjadi presiden pada Pemilu 2004
karena dihempaskan oleh pasangan SBY-JK dianggapnya dapat disalurkan melalui
kepemimpinan Prabowo.
Alasannya, dalam Manifesto
Perjuangan Partai Gerindra yang sempat dikritik oleh Frans Magnis Suseno
dinilai Amien cocok dengan cita-citanya. Salah satu di antaranya ialah
pemurnian agama. Bagi Magnis Suseno, hal tersebut bisa berujung pada penindasan
terhadap agama tertentu, melanggar HAM, dan Pancasila. Tetapi justru ini yang
dinilai Amien tepat. Sampai-sampai ia menjuluki kompetisi antara Prabowo dan
Jokowi sebagai perang badar. Ini hal kedua.
Pada Pilgub DKI 2017, Amien
juga mati-matian memerjuangkan pasangan Anies-Sandy. Cuma caranya di sini
sedikit beda. Selain memuja-muji Anies-Sandy setinggi langit, Amien
terus-menerus menggalang kekuatan untuk menyerang Ahok dengan berbagai cara dan
kesempatan. Nyaris tak ada hari yang tak digunakan Amien untuk menyerang Ahok.
Nyaris tak ada media cetak dan elektronik yang tidak memuat aktivitas dan
pernyataan-pernyataannya menyerang Ahok. Termasuk di mesjid-mesjid dan demo
bergelombang dan berjilid-jilid sejak Oktober 2016.
Di sini pun ia bernazar: jika
Jokowi tidak segera memenjarakan Ahok (menurut hukum buatannya sendiri), ia
akan memimpin rakyat Indonesia keluar dari Indonesia. Syukur bahwa hakim
memutuskan Ahok bersalah dengan hukuman 2 (dua) tahun penjara. Jika tidak, ada
kemungkinan Amien sudah jungkir balik mewujudkan niatnya memimpin rakyat
Indonesia keluar dari Indonesia.
He he logikanya kacau.
Bagaimana caranya mengajak orang Indonesia keluar dari Indonesia? Mau diajak ke
mana? Di ajak tinggal di laut? Di planet? Ataukah mau diajak ke padang pasir
yang tak berpenghuni di Arab? Mau membentuk negara sendiri ya? Mau jadi
presiden ya? Ha ha ha
Pertanyaannya, adakah efek
manuver-manuvernya itu bagi dirinya dan para tokoh partai politik? Sulit saya
jawab. Yang jelas, bahwa Prabowo sudah tak meliriknya lagi. Pertemuan Prabowo
dengan SBY di Cikeas, 27 Juli 2017 sama sekali tidak melibatkan Amien Rais.
Minta pendapat pun tidak. Prabowo mungkin baru tahu bahwa apa yang dikatakan
Amien tak bisa dipegang. Banyak bualan, gombal!
Anies pun begitu. Tak
memberikan peran apa pun kepada Amien. Sebagai penasehat, tidak. Jabatan dalam
pemerintahan, juga tidak mungkin. Ia sudah tua. Dalam tim sinkronisasi, sama
sekali tak disebut-sebut.
Di lingkungan partai politik,
sudah tak dihitung sama sekali. Jangankan di luar PAN, dalam lingkungan PAN
sendiri tidak laku.
Benar ia masih diposisikan
sebagai Ketua Dewan Kehormatan PAN. Tapi jabatan itu tidak memiliki pengaruh
besar bagi PAN. Barangkali hanya sekedar hiburan karena jasanya sebagai pendiri
PAN. Suaranya dalam partai besutannya itu sudah tidak didengar karena dinilai
merusak partai bahkan keutuhan berbangsa dan bernegara.
Apakah Amien kehabisan akal,
kapok? Sama sekali tidak! Ia melihat bahwa HTI dan FPI merupakan Ormas yang
selama ini berhasil menggalang demo besar untuk menjatuhkan Ahok, bahkan
mengancam Jokowi. Daripada tidak laku di mana-mana, Amien menilai lebih baik
berjuang di, dan, bersama Ormas anti Pancasila itu.
Di sini, Amien mendapat dua
efek sekaligus. Pertama, ia tetap menjadi tokoh yang dielu-elukan, dipuja-puji,
tetap menjadi pusat perhatian, dan terus menjadi bahan pembicaraan di berbagai
kalangan.
Kedua, ia terus mendapat
pasokan energi untuk menyerang Jokowi. Semangat HTI dan FPI untuk turun ke
jalan berhari-hari tak diragukan. Mereka bisa diajak Amien teriak-teriak siang
malam sambil meminta Jokowi turun dari jabatan presiden. Ini sangat disukai HTI
dan FPI. Sebab, Presiden Jokowi bagi HTI, FPI, dan yang seideologi dengan
mereka, adalah penghalang utama upaya mengubah Indonesia menjadi negara
khilafiah Islamiyyah.
Bagi Amien, hal tersebut bukan
masalah. Jangankan Jokowi lengser, Indonesia bubar pun bukan persoalan bagi
Amien. Yang ia pentingkan cuma satu: tetap dianggap tokoh penting, tokoh
central, kendati hanya dalam tempurung HTI dan FPI. Sudah jelas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar