Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ( Republika.co.id ) |
Ketika
bicara pada Rapimnas I Partai Hanura, Kuta, Bali, Jumat (4/8), Panglima TNI
Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan, bahwa pengambilan keputusan di DPR tidak
sesuai falsafah Pancasila. Pasalnya, produk keputusan DPR banyak yang diambil
dengan sistem voting. Padahal dalam sila keempat ditekankan bahwa pengambilan
keputusan itu semestinya dilakukan secara musyawarah mufakat, jelasnya.
Penilaian
tersebut, sulit dibantah. Kenyataannya memang begitu. Banyak keputusan DPR yang
diambil dengan jalur voting. Apalagi tentang hal-hal penting bagi negara
dan/atau masyarakat yang bersentuhan dengan kepentingan fraksi atau partai.
Manakala ada benturan antara duanya, maka yang dimenangkan adalah kepentingan
fraksi dari partai yang anggotanya terbanyak di DPR.
Apakah
voting salah? Sama sekali tidak. Itu juga bagian dari demokrasi. Namun,
pengambilan keputusan lewat voting bukan jalur utama yang sejalan dengan jiwa sila
keempat Pancasila. Pertama, voting hanya
boleh ditempuh apabila jalur musyawarah sudah buntu. Utamanya untuk
memertahankan kepentingan yang lebih besar, negara, seperti yang dipraktekkan
oleh founding fathers ketika menetapkan
Pancasila sebagai dasar negara.
Kedua, voting memupuk sikap adu kuat. Terminologinya
hanya dua, menang atau kalah. Sikap ini
jelas tidak membangun semangat kebersamaan. Padahal, semangat itulah jiwa
musyawarah mufakat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan
bernegara.
Ketiga, konsekuensinya, yang merasa dikalahkan
cenderung ogah-ogahan, tidak komit, bahkan kerap menjadi perintang pelaksanaan
keputusan. Ada yang sekedar sinis, menentang terang-terangan, dan ada yang
memprovokasi publik agar menolak keputusan.
Itulah
yang tak mau disadari oleh anggota DPR. Mereka selalu terburu-buru melangkah ke
voting, kendati pertimbangannya lebih pada kepentingan fraksi atau partai. Mengapa
hal itu bisa bisa terjadi? Mari kita analisis melalui dua contoh berikut!
Ambisi ingin
menguasai
Pertama, peristiwa munculnya DPR
tandingan dalam tubuh DPR RI pada Oktober 2014 ketika Koalisi Merah Putih (KMP)
main babat dalam penyusunan kepemimpinan DPR. Menurut Refly Harun, dimunculkannya
DPR tandingan oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dipicu oleh ambisi KMP yang
ingin ‘menguasai’ DPR. Setelah menyapu bersih pimpinan DPR dan pimpinan MPR,
kubu pengusung Prabowo Subianto itu juga ingin menduduki semua pimpinan komisi
di parlemen dengan proses adu kuat melalui voting.
Persidangan
yang diwarnai hujan interupsi, gagal ditengahi oleh pimpinan sidang yang
kesemuanya dari kubu KMP. Bila yang interupsi dari KIH, pimpinan sidang
pura-pura tidak tahu. Tidak diakomodasi. Malahan buru-buru menawarkan keputusan
secara voting.
Bagi KIH, persidangan yang
demikian dinilai sangat berbahaya. Bukan saja mengancam pemerintahan Joko
Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), tetapi merusak sistem demokrasi yang tengah
dibangun. Inilah sebabnya mereka memunculkan DPR tandingan, yang nilainya sama
dengan apa yang dilakukan KMP. Sama-sama merusak prinsip musyawarah mufakat dan
sama-sama merusak proses demokrasi.
Kedua, yang paling mutakhir adalah
peristiwa walk out-nya seluruh
anggota fraksi Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN pada sidang paripurna pengesahan
RUU Pemilu menjadi UU. Pasalnya, keputusan presidential
threshold sebesar 20% gagal dicapai dengan menghadirkan musyawarah mufakat.
Karena terus ditentang habis-habisan oleh keempat fraksi tersebut, maka putusan
lewat voting kembali ditempuh.
Bagi fraksi penentang, syarat 20%
presidential threshold dinilai
melanggar hak konstitusional seseorang untuk menjadi calon presiden (Capres).
Juga melanggar ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yang menjamin hak
setiap partai politik peserta pemilu dalam mengajukan pasangan Capres).
Argumen tersebut lupa bahwa Capres
tidak harus diusung oleh setiap partai. Bisa oleh satu atau gabungan beberapa
partai politik. Poinnya sebetulnya itu. Jika ada calon yang mumpuni, mengapa
harus ngotot mengusung calon sendiri? Bukankah lebih efisien mengusung satu dua
calon berkualitas ketimbang mengusung banyak calon tapi track record-nya belum jelas? Mengapa DPR tidak bisa bersepakat
tentang hal ini? Mengapa mereka selalu melompat ke jalur voting?
Melampaui Tembok
Gedung DPR
Ada
beberapa kemungkinan. Pertama,
hakikat musyawarah mufakat belum mau dibudayakan di DPR. Mereka ogah paham bahwa
keputusan hasil musyawarah jauh lebih kuat dari voting. Dengan musyawarah semua
hal bisa diungkap. Keputusan yang diambil mampu mengikat semua pihak lebih erat.
DPR
yang berkubu-kubu, hal tersebut mustahil terjadi. Pasalnya, hal yang dijadikan
patokan adalah kepentingan kubu, bukan kepentingan bersama. Ini, mudah
terwadahi lewat voting.
Voting
yang demikian adalah kebalikan dari voting para founding fathers NKRI ketika menetapkan dasar negara. Pertimbangan
utama mereka ialah kepentingan NKRI. Oleh sebab itu, mereka tidak buru-buru
voting. Mereka bermusyawarah dengan sabar. Memang akhirnya mereka menempuh
jalur voting. Namun, karena pertimbangannya adalah kepentingan yang lebih besar,
maka semua menerima. Yang semula menolak pun rela meredam ambisi pribadi dan
golongan sendiri.
Kedua, musyawarah memang tidak
gampang. Ia tidak mengutamakan hasil dan mengabaikan proses. Keduanya dibuat
seiring sejalan. Pada tataran negara, musyawarah mufakat tidak sebatas
memusyawarahkan gagasan-gagasan dari kepala 560 anggota DPR dalam ruangan DPR. Tetapi
ia sampai pada memusyawarahkan semua gagasan yang hidup dan terlontar dari
masyarakat.
Contohnya
adalah gagasan DPR mendirikan apartemen bagi DPR di kompleks Parlemen di
Senayan. Keputusan tentang ini tidak boleh diambil hanya berdasarkan musyawarah
dari pemikiran DPR, tetapi mengawinkannya dengan pandangan yang hidup dari
masyarakat. Jika hal ini dilakukan, maka hasil musyawarah DPR pasti lebih kuat
karena merupakan pemikiran semua.
Dalam
musyawarah yang demikian pantang membuat gagasan DPR berhadap-hadapan dengan gagasan
masyarakat. Semuanya diramu, dikawinkan dalam musyawarah mufakat demi
kepentingan bersama. Inilah yang dimaksudkan oleh Jenderal TNI Gatot Nurmantyo,
yang pasti bisa dilakukan oleh DPR kalau mereka mau. ***
Artikel
ini dimuat pada harian analisa Daily, medan tanggal 12 September 2017. Linknya
ini:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar