Kamis, 14 September 2017

Kegagalan DPR Bermusyawarah Mufakat

Panglima TNI: Ancaman ISIS Semakin Dekat dengan Indonesia
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ( Republika.co.id )
Ketika bicara pada Rapimnas I Partai Hanura, Kuta, Bali, Jumat (4/8), Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan, bahwa pengambilan keputusan di DPR tidak sesuai falsafah Pancasila. Pasalnya, produk keputusan DPR banyak yang diambil dengan sistem voting. Padahal dalam sila keempat ditekankan bahwa pengambilan keputusan itu semestinya dilakukan secara musyawarah mufakat, jelasnya.
Penilaian tersebut, sulit dibantah. Kenyataannya memang begitu. Banyak keputusan DPR yang diambil dengan jalur voting. Apalagi tentang hal-hal penting bagi negara dan/atau masyarakat yang bersentuhan dengan kepentingan fraksi atau partai. Manakala ada benturan antara duanya, maka yang dimenangkan adalah kepentingan fraksi dari partai yang anggotanya terbanyak di DPR.


Apakah voting salah? Sama sekali tidak. Itu juga bagian dari demokrasi. Namun, pengambilan keputusan lewat voting bukan jalur utama yang sejalan dengan jiwa sila keempat Pancasila. Pertama, voting hanya boleh ditempuh apabila jalur musyawarah sudah buntu. Utamanya untuk memertahankan kepentingan yang lebih besar, negara, seperti yang dipraktekkan oleh founding fathers ketika menetapkan Pancasila sebagai dasar negara.
Kedua, voting memupuk sikap adu kuat. Terminologinya hanya dua, menang  atau kalah. Sikap ini jelas tidak membangun semangat kebersamaan. Padahal, semangat itulah jiwa musyawarah mufakat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, konsekuensinya, yang merasa dikalahkan cenderung ogah-ogahan, tidak komit, bahkan kerap menjadi perintang pelaksanaan keputusan. Ada yang sekedar sinis, menentang terang-terangan, dan ada yang memprovokasi publik agar menolak keputusan.
Itulah yang tak mau disadari oleh anggota DPR. Mereka selalu terburu-buru melangkah ke voting, kendati pertimbangannya lebih pada kepentingan fraksi atau partai. Mengapa hal itu bisa bisa terjadi? Mari kita analisis melalui dua contoh berikut!
Ambisi ingin menguasai
Pertama, peristiwa munculnya DPR tandingan dalam tubuh DPR RI pada Oktober 2014 ketika Koalisi Merah Putih (KMP) main babat dalam penyusunan kepemimpinan DPR. Menurut Refly Harun, dimunculkannya DPR tandingan oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dipicu oleh ambisi KMP yang ingin ‘menguasai’ DPR. Setelah menyapu bersih pimpinan DPR dan pimpinan MPR, kubu pengusung Prabowo Subianto itu juga ingin menduduki semua pimpinan komisi di parlemen dengan proses adu kuat melalui voting.
Persidangan yang diwarnai hujan interupsi, gagal ditengahi oleh pimpinan sidang yang kesemuanya dari kubu KMP. Bila yang interupsi dari KIH, pimpinan sidang pura-pura tidak tahu. Tidak diakomodasi. Malahan buru-buru menawarkan keputusan secara voting.
Bagi KIH, persidangan yang demikian dinilai sangat berbahaya. Bukan saja mengancam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), tetapi merusak sistem demokrasi yang tengah dibangun. Inilah sebabnya mereka memunculkan DPR tandingan, yang nilainya sama dengan apa yang dilakukan KMP. Sama-sama merusak prinsip musyawarah mufakat dan sama-sama merusak proses demokrasi.
Kedua, yang paling mutakhir adalah peristiwa walk out-nya seluruh anggota fraksi Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN pada sidang paripurna pengesahan RUU Pemilu menjadi UU. Pasalnya, keputusan presidential threshold sebesar 20% gagal dicapai dengan menghadirkan musyawarah mufakat. Karena terus ditentang habis-habisan oleh keempat fraksi tersebut, maka putusan lewat voting kembali ditempuh.
Bagi fraksi penentang, syarat 20% presidential threshold dinilai melanggar hak konstitusional seseorang untuk menjadi calon presiden (Capres). Juga melanggar ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yang menjamin hak setiap partai politik peserta pemilu dalam mengajukan pasangan Capres).
Argumen tersebut lupa bahwa Capres tidak harus diusung oleh setiap partai. Bisa oleh satu atau gabungan beberapa partai politik. Poinnya sebetulnya itu. Jika ada calon yang mumpuni, mengapa harus ngotot mengusung calon sendiri? Bukankah lebih efisien mengusung satu dua calon berkualitas ketimbang mengusung banyak calon tapi track record-nya belum jelas? Mengapa DPR tidak bisa bersepakat tentang hal ini? Mengapa mereka selalu melompat ke jalur voting?
Melampaui Tembok Gedung DPR
Ada beberapa kemungkinan. Pertama, hakikat musyawarah mufakat belum mau dibudayakan di DPR. Mereka ogah paham bahwa keputusan hasil musyawarah jauh lebih kuat dari voting. Dengan musyawarah semua hal bisa diungkap. Keputusan yang diambil mampu mengikat semua pihak lebih erat.
DPR yang berkubu-kubu, hal tersebut mustahil terjadi. Pasalnya, hal yang dijadikan patokan adalah kepentingan kubu, bukan kepentingan bersama. Ini, mudah terwadahi lewat voting.
Voting yang demikian adalah kebalikan dari voting para founding fathers NKRI ketika menetapkan dasar negara. Pertimbangan utama mereka ialah kepentingan NKRI. Oleh sebab itu, mereka tidak buru-buru voting. Mereka bermusyawarah dengan sabar. Memang akhirnya mereka menempuh jalur voting. Namun, karena pertimbangannya adalah kepentingan yang lebih besar, maka semua menerima. Yang semula menolak pun rela meredam ambisi pribadi dan golongan sendiri.
Kedua, musyawarah memang tidak gampang. Ia tidak mengutamakan hasil dan mengabaikan proses. Keduanya dibuat seiring sejalan. Pada tataran negara, musyawarah mufakat tidak sebatas memusyawarahkan gagasan-gagasan dari kepala 560 anggota DPR dalam ruangan DPR. Tetapi ia sampai pada memusyawarahkan semua gagasan yang hidup dan terlontar dari masyarakat.
Contohnya adalah gagasan DPR mendirikan apartemen bagi DPR di kompleks Parlemen di Senayan. Keputusan tentang ini tidak boleh diambil hanya berdasarkan musyawarah dari pemikiran DPR, tetapi mengawinkannya dengan pandangan yang hidup dari masyarakat. Jika hal ini dilakukan, maka hasil musyawarah DPR pasti lebih kuat karena merupakan pemikiran semua.
Dalam musyawarah yang demikian pantang membuat gagasan DPR berhadap-hadapan dengan gagasan masyarakat. Semuanya diramu, dikawinkan dalam musyawarah mufakat demi kepentingan bersama. Inilah yang dimaksudkan oleh Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, yang pasti bisa dilakukan oleh DPR kalau mereka mau. ***
Artikel ini dimuat pada harian analisa Daily, medan tanggal 12 September 2017. Linknya ini:


Tidak ada komentar: